SUGAWA.ID -Tiongkok kembali mengejutkan dunia dengan meluncurkan Agent Hospital, rumah sakit virtual dengan tenaga medis berbasis kecerdasan buatan (AI).
Di dalam Rumah Sakit Virtual itu terdapat lebih dari 40 “dokter AI” dan perawat digital yang mampu melakukan konsultasi, diagnosis, hingga perencanaan pengobatan.
Universitas Tsinghua yang mengembangkan teknologi ini mengklaim Rumah Sakit Virtual tersebut mampu menangani hingga 3.000 pasien per hari, jauh melampaui kapasitas dokter manusia pada umumnya.
Tujuan utama bukanlah menggantikan dokter, melainkan mendampingi. Di daerah terpencil yang minim tenaga medis, AI dapat memperluas akses dan mengurangi antrean pasien yang menumpuk.
Selain itu, rumah sakit virtual ini juga berfungsi sebagai laboratorium pendidikan, tempat mahasiswa kedokteran berlatih dalam simulasi tanpa risiko terhadap pasien nyata.
Ada tiga hal yang membuat inovasi ini menarik perhatian dunia kesehatan:
Efisiensi – Waktu diagnosis dan administrasi yang biasanya menguras energi dokter bisa dipangkas signifikan.
Akses untuk daerah terpencil – AI dapat menjangkau wilayah yang kekurangan tenaga medis, menutup kesenjangan layanan kesehatan.
Prediksi penyakit – Sistem mampu menganalisis data dalam jumlah besar untuk memprediksi tren kesehatan masyarakat, termasuk potensi wabah.
Namun, euforia ini dibarengi banyak catatan kritis. AI berpotensi melakukan kesalahan diagnosis (AI hallucination) yang bisa berakibat fatal jika tidak diawasi dokter manusia.
Privasi pasien juga dipertaruhkan: bagaimana data medis disimpan, siapa yang bertanggung jawab jika terjadi kebocoran?
Lebih jauh lagi, masyarakat mungkin merasa canggung mempercayakan kesehatannya pada “dokter digital” yang tidak punya empati.
Menurut Dr. Maria Hernández, Profesor Kedokteran di Universitas Barcelona, Rumah Sakit Virtual ini adalah terobosan luar biasa untuk meningkatkan akses kesehatan. Tapi sistem ini harus dijalankan dengan pengawasan manusia dan audit berkala.
“AI bisa membantu, tapi bukan menggantikan, karena dalam dunia nyata kesalahan sekecil apa pun bisa berakibat besar,” tuturnya.
Sementara Dr. Samuel Kim, Ahli Informatika Kesehatan dari Universitas Toronto menambahkan yang paling penting adalah integrasi.
“Jika AI diposisikan sebagai alat bantu, manfaatnya besar. Tapi tanpa regulasi jelas—siapa yang bertanggung jawab saat terjadi kesalahan—risikonya sangat tinggi. Pasien pun berhak memilih perawatan konvensional bila mereka tidak nyaman dengan AI,” paparnya.
Suara dari Indonesia
Menurut Dr. Tan Shot Yen, dokter dan pakar gizi masyarakat, teknologi medis seperti AI bisa jadi solusi untuk pemerataan layanan, tapi jangan dilihat sebagai jawaban instan.
“Kita memang kekurangan dokter, terutama di pelosok. AI bisa membantu sebagai triase atau asisten, tapi jangan sampai menggantikan sentuhan manusia. Pasien butuh empati, komunikasi, dan rasa didengar, sesuatu yang belum bisa diberikan oleh algoritma,” katanya
Sementara itu, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, ahli kebijakan kesehatan UGM, menekankan pentingnya kesiapan regulasi.
“Kalau Indonesia mau mengadopsi dokter AI, yang pertama disiapkan adalah sistem hukum dan etikanya. Siapa bertanggung jawab kalau ada kesalahan diagnosis? Jangan sampai kita terburu-buru hanya karena tergoda teknologi. Infrastruktur internet, literasi digital, hingga perlindungan data pasien juga harus kokoh terlebih dahulu,” argumennya.
Rumah sakit dengan dokter AI di Tiongkok mungkin terdengar seperti masa depan yang jauh, tetapi kenyataannya sudah hadir hari ini. Pertanyaannya: apakah Indonesia siap belajar dan menyusun regulasi agar teknologi semacam ini bisa diterapkan dengan aman? Jadi jangan terburu-buru, ia justru bisa menimbulkan masalah baru.