SUGAWA.ID – Setiap bulan Ramadhan atau saat gema takbir mulai terdengar menjelang Idul Fitri, ada pemandangan khas yang hampir selalu mengiringi suasana keagamaan di Indonesia: pria muslim yang mengenakan baju koko.
Dengan potongannya yang simpel, kerah stand-up, dan warna netral, baju koko menjadi simbol fashion muslim pria tanah air. Namun tak banyak yang mengetahui bahwa di balik kesan religi yang melekat pada baju koko, terdapat jejak akulturasi budaya yang cukup panjang, khususnya pengaruh masyarakat Tionghoa.
Baju koko bukanlah pakaian Islami murni yang berasal dari Timur Tengah, seperti halnya gamis atau kurta. Melainkan lahir dari perjumpaan budaya unik antara Tionghoa dan Islam di pesisir nusantara. Pada awal abad ke-20, masyarakat Tionghoa yang tinggal di Batavia (sekarang Jakarta) memiliki pakaian khas yang disebut “tui khim”—kemeja berkerah lurus dengan kancing depan, biasanya dikenakan oleh laki-laki. Pakaian ini memiliki nuansa formal namun santai, dengan potongan longgar yang memungkinkan leluasa bergerak di iklim tropis Indonesia.
Seiring menyebarnya dakwah Islam di kalangan masyarakat Tionghoa Peranakan, muncullah sekelompok pria Muslim Tionghoa yang tetap mengenakan tui khim, namun dengan penyesuaian—misalnya bahan yang lebih tertutup dan desain yang lebih sederhana sesuai standar Islam. Di kalangan Betawi, pria Tionghoa Muslim ini sering disapa dengan sebutan “koko”, yang dalam bahasa Hokkien berarti “kakak”. Dari situlah nama “baju koko” berasal: baju yang dikenakan oleh ‘koko’ muslim.
“Nama baju koko sebenarnya tidak resmi,” kata salah satu sejarawan budaya Betawi dalam sebuah wawancara. “Awalnya hanya istilah masyarakat kampung yang menyebut laki-laki Muslim Tionghoa yang mereka lihat rajin ke masjid dengan pakaian seperti itu. Namun lama kelamaan, istilah itu melekat pada pakaian mereka.”
Seiring berjalannya waktu, baju koko mulai lebih banyak diadopsi oleh masyarakat muslim non-Tionghoa. Bentuknya pun berubah – dari yang awalnya sangat mirip tui khim, menjadi lebih variatif dengan bordiran, model kancing baru, bahkan penambahan saku. Namun elemen utama tetap dipertahankan: kerah shanghai, potongan longgar, dan kesan kesopanan pada kain.
Dalam konteks Indonesia, baju koko adalah contoh sempurna bagaimana budaya bisa saling bersentuhan tanpa menghilangkan identitas masing-masing. Islam masuk ke Indonesia tidak hanya melalui pedang atau ceramah, tetapi juga melalui interaksi sosial dan adaptasi budaya. Baju koko menjadi bukti bahwa ajaran Islam dapat dipadukan dengan nilai-nilai lokal, bahkan lintas etnis.
Tak hanya di Jakarta, baju koko kini sudah menjadi pakaian yang biasa dikenakan di berbagai daerah di Indonesia, mulai dari Aceh hingga Papua. Di beberapa daerah, baju koko dipadukan dengan kain khas setempat—seperti songket, tenun ikat, atau batik—yang membuatnya semakin kaya akan estetika dan identitas budaya.
Meski secara fungsional baju koko lebih sering dipakai untuk keperluan keagamaan, namun kini sudah merambah ke ranah busana kasual hingga formal. Pada hari Jumat, banyak pria kantoran yang mengenakan kemeja koko dengan celana kain sebagai bentuk penghormatan terhadap waktu salat. Cukup banyak desainer lokal yang mendesain koleksi baju koko untuk pasar anak muda, dengan sentuhan modern yang tetap mempertahankan akar tradisionalnya.
Namun di balik semua perkembangan tersebut, sejarah baju koko menyimpan pesan penting: bahwa jati diri bisa bersifat fleksibel, dan keberagaman bukanlah sebuah hambatan melainkan sebuah kekuatan. Mulai dari tui khim hingga baju koko, dari kampung Tionghoa hingga seluruh nusantara, pakaian ini menjadi simbol harmonisasi budaya yang mungkin tidak direncanakan, namun diterima dan dirayakan.
Di dunia yang kerap terpecah belah karena identitas, baju koko menunjukkan bahwa warisan budaya bisa menyatukan, bukan memisahkan. Dan di setiap lipatan kainnya, terdapat cerita tentang kekayaan dan keberagaman manusia yang dimiliki Indonesia.













