SUGAWA.ID – Dari zaman Dinasti Tang di negeri Tiongkok hingga Duchess of Bedford di Inggris, secangkir teh telah menjadi bagian yang lebih dari sekedar minuman, melainkan simbol, status sosial, dan budaya yang kemudian menjadi apa yang kita kenal sebagai “upacara minum teh”
“Dalam secangkir teh, tersimpan sesuatu yang menuntun kita pada keheningan — tempat di mana kita merenungkan makna hidup.” (Lin Yutang)
Dari Timur ke Barat
Dalam Sejarah Tiongkok, tradisi minum teh sudah dimulai berabad-abad sebelumnya sejak masa Dinasti Han (206 SM – 220 M). Pada masa itu, teh masih digunakan sebagai ramuan obat dan persembahan upacara. Kemudian, pada zaman Dinasti Tang (618–907 M), tradisi minum teh mulai berkembang dari ramuan obat, menjadi budaya dan bagian dari kehidupan spiritual dan sosial.
Setelah berkembang di Timur, Teh mulai memasuki peradaban Inggris pada abad ke-17, melalui jalur dagang Asia Timur, dan menjadi simbol kemewahan bagi kalangan bangsawan. Namun, tradisi minum teh di Inggris baru benar-benar tumbuh pada awal abad ke-19, ketika Anna, Duchess of Bedford, memperkenalkan kebiasaan afternoon tea, yaitu menikmati teh hangat dengan roti dan kue kecil di antara waktu makan siang dan malam. Kebiasaan sederhana itu segera menjadi ritual sosial elegan yang menandai lahirnya budaya teh khas Inggris.
Dua Estetika, Dua Pandangan Hidup
Dalam budaya Tiongkok, tradisi minum teh selalu membawa tema kesederhanaan dan ketenangan, dari peralatan seperti Cangkir tanah liat Yixing hingga mangkuk Gaiwan yang menggambarkan keseimbangan energi antara manusia dan alam. Sedangkan dalam budaya Inggris, tradisi minum the digambarkan dengan kemewahan, seperti peralatan dari cangkir porselen dan sendok perak yang merepresentasikan status sosial dan keindahan.
Perbedaan tradisi minum teh ini memperlihatkan dua cara pandang yang bertolak belakang namun saling melengkapi. Dalam budaya Tiongkok, keindahan lahir dari hubungan yang selaras antara benda, jiwa, dan alam — keindahan yang tidak diciptakan, melainkan disadari melalui kesederhanaan dan keseimbangan. Sebaliknya, dalam budaya Inggris, keindahan adalah bentuk, yang digambarkan dalam kemewahan, dan status sosial.
Dua Cara, Dua Nilai
Dalam budaya Tiongkok, minum teh adalah proses meditasi yang dilakukan secara perlahan dan penuh penghormatan. Setiap tahap memiliki makna dimulai dari memanaskan cangkir, membilas daun, hingga menghirup aroma pertama. Semua tahap tersebut berakar dalam ajaran Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme yang membentuk pandangan hidup masyarakat Tiongkok yaitu kesederhanaan, ketenangan, dan keharmonisan dengan alam
Sementara di Inggris, minum teh adalah momen sosial. Teh disajikan dengan susu dan gula, disertai kue kecil, sandwich, atau scone. Dengan etiket yang harus dipatuhi seperti sendok tidak boleh membentur cangkir, menuang the dengan tangan kanan, dan tidak boleh meniup teh yang masih panas. Minum teh di Inggris mencerminkan nilai ketertiban, kesopanan, dan keanggunan yang telah mengakar dalam perilaku para bangsawan di Inggris
Kesimpulan
Tradisi minum teh mencerminkan perjalanan batin menuju kesadaran dan harmoni dalam budaya Tiongkok, sedangkan dalam budaya Inggris, tradisi minum teh menjadi simbol keanggunan, sopan santun, dan tatanan sosial. Meskipun lahir dari akar budaya yang kontras, keduanya menunjukkan bahwa dalam rutinitas sederhana seperti menyeduh, menunggu, dan berbagi secangkir teh, manusia selalu mencari hal yang sama: ketenangan, dan keindahan
Referensi
Dong, Y. T. (2024). *A Comparative Analysis of Chinese and British Tea Cultures Based on Social Structure Differences and Mainstream Philosophy Influence. SSHA 2024 Proceedings.
Wilson, A. (2023). *The Very British Institution of Afternoon Tea. CGTN Europe.













