SUGAWA.ID – Di panggung kecil sebuah acara budaya di Condet, penari Topeng Betawi menari dengan penuh semangat. Iringan musik gambang kromong berpadu dengan hentakan gendang dan kecrek membuat para penonton terlena.
Tapi di balik gerak yang lincah dan jenaka, ada kisah panjang tentang percampuran budaya yang jarang disadari, yakni pengaruh kuat kebudayaan Tionghoa pada Tari Topeng Betawi.
Tari Topeng Betawi memang lahir di wilayah pinggiran Batavia pada abad ke-19, di tengah masyarakat yang multietnis—terdiri atas orang Betawi, Tionghoa, Arab, Sunda, dan Jawa.
Menurut budayawan Betawi almarhum Ridwan Saidi, kebudayaan Betawi sejak awal “tidak pernah tunggal”, melainkan hasil pertemuan panjang berbagai tradisi, termasuk Topeng Betawi.
Salah satu pengaruh paling kentara datang dari budaya Tionghoa yang sejak masa kolonial sudah bermukim di kawasan seperti Glodok, Tambora, dan Jatinegara.
Dalam konteks itu, Topeng Betawi bukan sekadar seni pertunjukan rakyat, melainkan wujud nyata akulturasi budaya. Banyak unsur dalam tari ini—baik dari segi musik, busana, maupun estetika panggung—menunjukkan warna Tionghoa yang kental.
Unsur paling jelas terlihat dalam musik pengiringnya. Gambang kromong, yang menjadi napas utama dalam tari Topeng Betawi.
Kesenian Gambang Kromong merupakan hasil perpaduan alat musik Tionghoa seperti kromong (gong kecil dari logam) dan tehyan, dengan alat musik lokal seperti gendang, kecrek, dan suling bambu.
Nada-nada pentatonik khas Tionghoa berpadu dengan irama Betawi yang dinamis, menciptakan suasana ceria dan teatrikal.
Menurut Dr. Melani Budianta, pakar budaya dari Universitas Indonesia, “Gambang kromong adalah bukti paling konkret dari dialog budaya yang hidup di Batavia—antara Tionghoa Peranakan dan masyarakat pribumi.”
Busana dan rias penari Topeng Betawi—warna-warna mencolok seperti merah, emas, dan hijau, serta gaya rias tebal dengan bentuk alis dan bibir yang tegas. Unsur itu diduga kuat terinspirasi dari opera Tiongkok (xi ju), terutama tradisi Peking Opera yang sudah dikenal di Batavia sejak abad ke-18.
Dalam beberapa versi pertunjukan lama, penari pria bahkan mengenakan jubah panjang menyerupai kostum panggung Tionghoa. Topeng berwarna mencolok dan ekspresif pun mengingatkan pada simbolisme warna dalam topeng opera Tiongkok—merah melambangkan keberanian, putih kelicikan, hitam ketegasan.
Tari Topeng Betawi dikenal lewat tokoh-tokoh seperti Mak Juba, Bang Bokir, atau Panji—figur rakyat yang jenaka namun sarat pesan moral.
Struktur pementasan yang terbagi dalam bagian pembukaan, lakon, dan penutup, juga mengingatkan pada bentuk drama panggung Tionghoa yang memiliki pola serupa.
Tema kisahnya sering menyoroti pertarungan antara kebaikan dan kejahatan, cinta yang terhalang status sosial, atau nasib rakyat kecil—narasi universal yang juga banyak muncul dalam legenda Tionghoa klasik.
Kini, Tari Topeng Betawi menjadi salah satu ikon budaya Jakarta. Meski akar Tionghoanya sering terlupakan, keberadaan unsur itu justru menegaskan semangat keterbukaan yang menjadi ciri masyarakat Betawi.
Menurut Lilis Komalasari, pengajar seni di Institut Kesenian Jakarta, “Topeng Betawi adalah simbol keberagaman yang tidak dipaksakan. Ia tumbuh dari keseharian masyarakat yang saling belajar, saling meminjam, lalu menciptakan sesuatu yang baru.”
Di tengah arus modernisasi, tantangan pelestarian Tari Topeng Betawi makin besar. Generasi muda sering menganggapnya kuno, padahal di balik setiap gerak dan irama tersimpan kisah harmoni budaya yang unik.
Memahami jejak Tionghoa di dalamnya bukan untuk mengaburkan identitas Betawi, tetapi justru memperkaya pemahaman tentang jati diri Jakarta sebagai kota percampuran.
Seperti kata pepatah lama, “Air dari berbagai mata air bertemu di satu muara.” Dalam Topeng Betawi, muara itu bernama kebudayaan Indonesia—yang hidup, terbuka, dan terus menari dalam irama keberagaman.













