SUGAWA.ID – Batik adalah warisan budaya Indonesia yang sangat dikenal, tak hanya di dalam negeri tapi juga jauh sampai mancanegara.
Apalagi ketika UNESCO menetapkan batik sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia pada 2 Oktober 2009 lalu, negara-negara dunia langsung menoleh pada Indonesia.
Karena kain yang digambar dengan canting dan malam ini bukan sekadar busana, melainkan narasi panjang tentang sejarah, akulturasi, dan identitas bangsa. Di balik motif parang hingga mega mendung, ada cerita silang budaya yang menarik—termasuk pengaruh komunitas peranakan Tionghoa pada kain batik dari berbagai daerah.
Memang batik di Nusantara sudah dikenal sejak masa kerajaan Jawa. Naskah-naskah kuno menyebut kata amba (menulis) dan titik (titik-titik) inilah yang kemudian melahirkan istilah “batik”.
Pada awalnya, batik berkembang di lingkungan keraton Yogyakarta dan Surakarta, sebagai simbol status sosial dan sarana komunikasi simbolis.
Namun, batik tidak berhenti di dinding istana. Melalui jalur perdagangan, migrasi, dan perkawinan silang, ia keluar dari keraton menuju masyarakat pesisir. Di sinilah jejak komunitas Tionghoa mulai terlihat.
Lasem: “Tiongkok Kecil” di Pesisir Jawa
Lasem, sebuah kota kecil di Rembang, Jawa Tengah, sering disebut sebagai pusat batik peranakan. Di sini, pengaruh Tionghoa terasa kuat, bukan hanya pada arsitektur rumah-rumah tua, tapi juga pada motif batiknya.
Batik Lasem terkenal dengan warna merah menyala, yang disebut “abang getih pitik” (merah darah ayam). Warna ini terinspirasi dari tradisi pewarnaan Tiongkok. Motif-motifnya pun menghadirkan simbol khas: naga, burung phoenix (fenghuang), bunga seruni, hingga kupu-kupu—simbol keberuntungan dalam budaya Tionghoa.
Para perempuan Tionghoa Lasem, sejak abad ke-19, menjadi pionir dalam mengembangkan batik ini. Mereka menyulam kisah leluhur Tiongkok ke dalam kain Jawa, menghasilkan batik yang unik, penuh semangat lintas budaya.
Pekalongan: Pesisir yang Kosmopolit
Pekalongan dijuluki “Kota Batik” karena masyarakatnya terbuka terhadap pengaruh luar. Komunitas Arab, Belanda, dan Tionghoa semua memberi warna.
Pengaruh Tionghoa tampak pada motif bunga peony, burung hong, naga, serta paduan warna cerah yang berbeda dari batik keraton. Di tangan pengusaha peranakan Tionghoa, batik juga berkembang menjadi industri rumahan yang kemudian menembus pasar ekspor pada masa kolonial.
Tak heran, batik Pekalongan sering disebut sebagai batik dagang, karena menjadi bagian dari denyut ekonomi pesisir.
Cirebon: Mega Mendung yang Mendunia
Siapa tak kenal motif mega mendung? Motif awan berlapis-lapis ini kini jadi ikon batik Cirebon. Akar filosofisnya berasal dari ajaran Tionghoa: awan adalah lambang kehidupan yang dinamis dan pembawa hujan—berarti kesejahteraan.
Sejarah mencatat, motif ini berkembang di sekitar Keraton Cirebon, yang punya hubungan erat dengan para pedagang Tionghoa sejak abad ke-15. Batik mega mendung pun menjadi simbol perpaduan Jawa–Islam–Tionghoa dalam satu bentangan kain.
Surabaya dan Tuban: Jejak Pelabuhan
Sebagai pelabuhan penting, Surabaya dan Tuban juga menjadi titik temu budaya. Batik di kawasan ini menyerap pengaruh Tionghoa dalam bentuk motif flora-fauna eksotis, seperti naga laut atau bunga teratai.
Peranakan Tionghoa di Surabaya pada abad ke-19 juga tercatat aktif menjadi juragan batik, membangun usaha batik cap yang kemudian mempercepat produksi.
Batik Peranakan: Identitas yang Hybrid
Batik peranakan bukan sekadar kain. Ia adalah representasi identitas hibrida: Tionghoa–Jawa–Nusantara. Para peranakan Tionghoa tidak hanya mengadaptasi budaya lokal, tapi juga menambahkan imajinasi visual mereka sendiri.
Seorang budayawan batik, Iwan Tirta, pernah mengatakan, “Batik adalah ensiklopedia budaya. Setiap goresannya menyimpan cerita lintas bangsa, lintas zaman.”
Hari ini, batik peranakan tidak lagi terbatas pada Lasem, Pekalongan, atau Cirebon. Para desainer muda memodifikasi motif naga, phoenix, dan mega mendung dalam busana modern, menghubungkan sejarah panjang batik dengan gaya hidup global.
Batik telah menjadi bahasa universal: dari kain leluhur hingga runway Paris. Dan di baliknya, jejak komunitas peranakan Tionghoa tetap melekat, mengingatkan kita bahwa identitas Indonesia adalah hasil percampuran yang indah.