SUGAWA.ID– Setiap pertengahan musim gugur, masyarakat Tionghoa di berbagai daerah di Indonesia merayakan Festival Tiong Ciu atau Zhongqiu Jie.
Di antara lentera dan sinar bulan purnama, ada satu sajian khas yang tak pernah absen Tiong Ciu Pia, atau yang lebih dikenal dengan sebutan kue bulan.
Kue berbentuk bulat ini bukan sekadar kudapan manis. Ia menyimpan sejuta mitos dan simbol, yang telah diwariskan turun-temurun selama ratusan tahun.
Berikut beberapa mitos menarik seputar kue Tiong Ciu Pia yang masih hidup di kalangan Tionghoa Indonesia.
- Kue Pesan Rahasia dari Masa Revolusi
Salah satu kisah paling populer menyebutkan bahwa Tiong Ciu Pia digunakan untuk menyembunyikan pesan rahasia saat rakyat Tiongkok melawan kekuasaan Mongol di masa Dinasti Yuan (abad ke-14).
Lewat kue inilah pesan “bangkit melawan” disebarkan tanpa terdeteksi penjajah.
Karena itulah, hingga kini Tiong Ciu Pia dianggap sebagai simbol persatuan, kecerdikan, dan semangat kebebasan.
- Jangan Makan Sendirian di Bawah Bulan
Ada kepercayaan di beberapa komunitas Tionghoa Peranakan Indonesia, seperti di Semarang dan Surabaya, bahwa makan kue bulan sendirian di bawah sinar bulan purnama membawa kesedihan.
Mitos ini berasal dari kisah cinta tragis Dewi Bulan Chang’e dan pemanah Hou Yi, yang terpisah selamanya.
Karena itu, masyarakat lebih memilih menikmati Tiong Ciu Pia bersama keluarga—sebagai lambang kebersamaan dan cinta yang utuh.
- Potongan Kue Harus Genap
Dalam tradisi Tionghoa, segala sesuatu harus seimbang. Maka, kue bulan selalu dibagi dalam potongan genap—biasanya empat atau delapan bagian.
Jumlah ganjil dianggap membawa ketidakseimbangan dalam rumah tangga.
Selain itu, angka delapan dipercaya sebagai angka keberuntungan, sehingga membagi kue jadi delapan potong berarti membagi rezeki.
- Isian Kue Menandakan Nasib
Setiap isian Tiong Ciu Pia memiliki makna tersendiri:
Kacang hijau melambangkan ketenangan dan kesucian hati.
Kacang merah berarti kebahagiaan dan cinta.
Kuning telur asin menyimbolkan kejayaan dan keutuhan, seperti matahari di tengah bulan.
Campuran lima kacang (wu ren) mencerminkan kerja sama dan keberagaman.
Sebagian keluarga memilih isian tertentu setiap tahun sesuai harapan mereka—mulai dari rezeki, kesehatan, hingga jodoh.
- Jangan Membuat atau Membeli Saat Hujan Lebat
Di beberapa komunitas Tionghoa pesisir seperti Pontianak dan Singkawang, ada mitos bahwa membuat atau membeli Tiong Ciu Pia saat hujan deras bisa “mencuci” keberuntungan.
Air hujan dianggap membawa unsur yin yang kuat, sehingga bisa menenggelamkan rezeki.
Kepercayaan ini membuat sebagian orang memilih menunggu cuaca cerah sebelum menyiapkan kue bulan.
- Kue Persembahan untuk Leluhur
Selain untuk keluarga, kue bulan juga dipersembahkan di altar sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur.
Masyarakat percaya bahwa roh leluhur ikut berkumpul menikmati bulan purnama.
Karena itu, Tiong Ciu Pia bukan hanya simbol keluarga, tapi juga penghubung antara generasi yang hidup dan yang sudah tiada.
- Kue Simbol Cinta Abadi
Kisah romantis Chang’e yang terbang ke bulan setelah meminum ramuan keabadian menjadikan Tiong Ciu Pia dikenal juga sebagai “kue cinta.”
Bentuknya yang bulat melambangkan cinta yang sempurna dan tak terpisahkan.
Tak heran, hingga kini banyak pasangan muda saling bertukar kue bulan sebagai tanda kasih dan harapan hubungan yang langgeng.
Seiring waktu, Tiong Ciu Pia hadir dalam berbagai rasa kekinian—dari durian, cokelat, hingga keju. Meski tampilannya berubah, makna budaya dan mitos yang menyertainya tetap lestari.
Setiap gigitan kue bulan menjadi pengingat bahwa budaya bukan hanya tentang rasa, tetapi juga tentang kisah, doa, dan harapan.













