SUGAWA.ID— Setiap kali aroma masakan Tiongkok tercium—aroma jahe, bawang putih, dan kecap yang berpadu di udara—ada sensasi yang sulit dijelaskan. Hangat, kuat, namun menenangkan. Di balik rasa itu tersimpan rahasia yang telah diwariskan selama ribuan tahun: seni meracik rempah-rempah.
Bagi orang Tiongkok, memasak bukan hanya tentang menyiapkan bahan, tetapi tentang menciptakan keseimbangan antara rasa, aroma, dan energi. Seperti filosofi Yin dan Yang, setiap rempah memiliki perannya masing-masing: ada yang menghangatkan, ada pula yang menenangkan. Dari dapur sederhana hingga restoran mewah, keseimbangan itu selalu terjaga.
Akar Sejarah dan Filosofis
Tradisi masakan Tiongkok berakar pada prinsip “he wei zhi ben” (和为至本) — harmoni adalah fondasi segalanya. Ini berarti rasa tidak boleh saling mendominasi; asin, manis, asam, pahit, dan pedas harus berpadu.
Dalam catatan sejarah Dinasti Zhou (sekitar 1000 SM), rempah-rempah sudah menjadi bagian penting dari ritual kerajaan. Buku masak tertua, Shi Jing (Kitab Kidung Agung), bahkan menyebut jahe dan bawang putih sebagai bahan suci yang dibutuhkan untuk persembahan kurban. Sejak saat itu, masakan Tiongkok telah dikaitkan erat dengan seni memadukan rempah-rempah — tidak hanya untuk rasa, tetapi juga untuk kesehatan.
Lima Elemen Rasa dalam Masakan Tiongkok
Setiap bumbu dalam masakan Tiongkok mewakili elemen alami dan cita rasa yang spesifik. Lima rasa dasar—manis, asin, asam, pahit, dan pedas—dianggap mencerminkan lima elemen: tanah, air, kayu, api, dan logam.
- Manis mewakili elemen tanah, yang membawa keseimbangan dan menenangkan perut.
- Asin berkaitan dengan elemen air, yang memperkuat dan menjaga kelembapan tubuh.
- Asam berasal dari elemen kayu, yang menyegarkan dan merangsang nafsu makan.
- Pahit mewakili elemen api, yang membersihkan dan merangsang pencernaan.
- Pedas mencerminkan elemen logam, yang meningkatkan energi dan sirkulasi darah.
Keseimbangan kelima rasa inilah yang membuat masakan Tiongkok begitu kompleks namun harmonis. Tak heran jika semangkuk sup dapat menghadirkan semua dimensi rasa ini sekaligus.
Rempah-Rempah Esensial: Jiwa Masakan Tiongkok
- Jahe (姜 / jiāng) Jahe adalah simbol kehangatan dan vitalitas. Dalam masakan Tiongkok, jahe digunakan di hampir setiap hidangan—mulai dari tumisan dan sup hingga teh herbal. Selain memberikan aroma yang menyengat, jahe juga dipercaya dapat menyeimbangkan energi tubuh, terutama selama musim dingin.
- Bawang Putih (蒜 / suàn) Rempah serbaguna ini merupakan penambah rasa sekaligus pelindung kesehatan. Bawang putih dipercaya dapat “menangkal angin jahat”—istilah tradisional untuk penyakit. Dalam masakan Sichuan dan Hunan, bawang putih menjadi dasar rasa pedas yang menyengat.
- Kecap Asin (酱油 / jiàng yóu) Dikenal sebagai “jiwa” masakan Tiongkok, kecap asin terbuat dari kedelai dan gandum yang difermentasi. Ada dua jenis utama: sheng chou (kecap asin ringan) untuk rasa, dan lao chou (kecap asin gelap) untuk warna dan aroma. Setiap provinsi memiliki resep khasnya sendiri, yang memberikan cita rasa khas pada setiap hidangan.
- Saus Tiram (蚝油 / háo yóu) Diciptakan secara tidak sengaja oleh koki Guangdong, Lee Kum Sheung, pada abad ke-19, saus tiram kini menjadi bahan pokok dalam tumisan. Rasa gurih alaminya meningkatkan cita rasa tanpa mengalahkan rasa hidangan.
- Minyak Wijen (芝麻油 / zhī má yóu) Aromanya yang lembut dan khas sering digunakan di akhir masakan agar tidak hilang karena panas. Minyak wijen melambangkan kemewahan dalam masakan Tiongkok—sedikit saja dapat mengubah cita rasa seluruh hidangan.
- Lada Sichuan (花椒 / huā jiāo) Rempah yang memberikan sensasi “ma la”—kombinasi rasa pedas dan mati rasa. Lada Sichuan tidak seperti cabai, melainkan buah kering yang memberikan sensasi hangat dan menggelitik di lidah. Karakteristik inilah yang membuat masakan Sichuan dikenal karena cita rasanya yang ekstrem dan memikat.
Cita Rasa yang Menjelajahi Dunia Rempah-rempah Tiongkok tak hanya bertahan di dapur rumah tangga, tetapi juga menjadi kebutuhan pokok global. Sejak era Jalur Sutra, kecap, jahe, dan saus fermentasi telah menyebar ke Asia Tenggara, Jepang, bahkan Eropa.
Di Indonesia, pengaruhnya sangat terasa. Hidangan seperti bakmi, capcay, atau kwetiau tak akan sama tanpa kecap dan minyak wijen. Bahkan sambal kecap yang populer di warung-warung makan Indonesia merupakan adaptasi dari tradisi Tiongkok yang mencampur cabai dan bawang.
Rempah-rempah ini membentuk jembatan budaya antara cita rasa Timur dan adat istiadat setempat. Dari dapur Peranakan di Semarang hingga restoran modern di Jakarta, warisan kuliner Tiongkok terus hidup dan beradaptasi.
Lebih dari Sekadar Rasa
Bagi masyarakat Tionghoa, rempah-rempah bukan hanya soal rasa, tetapi juga tentang keseimbangan jiwa dan raga. Dalam pengobatan tradisional, makanan dianggap sebagai obat pertama. Ini berarti memasak dengan benar sama pentingnya dengan merawat diri sendiri.
Itulah sebabnya, di banyak keluarga Tionghoa, memasak selalu diiringi doa dan niat baik. Rempah-rempah diolah dengan penuh kesabaran, tingkat kepedasannya dikontrol dengan cermat, dan cita rasanya dinikmati dengan penuh kehati-hatian. Semua ini dilakukan untuk menciptakan keharmonisan tak hanya di lidah, tetapi juga di jiwa.
Kesimpulan: Aroma yang Tak Pernah Pudar
Rempah-rempah Tiongkok telah berkembang pesat—dari kerajaan kuno hingga dapur modern. Namun satu hal tetap sama: keyakinan bahwa makanan adalah bahasa cinta, dan setiap aroma menceritakan sebuah kisah.
Mungkin itulah sebabnya, ketika aroma jahe dan bawang putih mulai tercium dari wajan panas, siapa pun yang menciumnya merasa dekat dengan rumah. Karena, sesungguhnya, rempah-rempah lebih dari sekadar penambah rasa—rempah-rempah adalah pengingat bahwa di dalam setiap hidangan terdapat sejarah, filosofi, dan cinta yang diwariskan dari generasi ke generasi.













