SUGAWA.ID -Di antara riuhnya kesenian Betawi yang dikenal seperti lenong, gambang kromong, dan tanjidor, ada tari cokek yang menari di ruang perlintasan budaya—sebuah perwujudan indah dari pertemuan budaya Betawi dan Tionghoa.
Tari cokek bukan sekadar pertunjukan hiburan, melainkan simbol persaudaraan lintas etnis yang telah tumbuh selama berabad-abad di pesisir Jakarta dan sekitarnya.
Tari cokek lahir dari tradisi masyarakat peranakan Tionghoa-Betawi di kawasan Tangerang, khususnya daerah Pasar Lama dan Sewan. Kata ciokek sendiri dipercaya berasal dari bahasa Hokkian, yakni ciok-kek, yang berarti “menari bersama.”
Menurut Dr. Ninuk Widyantoro, peneliti seni pertunjukan Universitas Indonesia pernah menyatakan bahwa ciokek menjadi bukti kuat bagaimana masyarakat Tionghoa yang datang ke Batavia sejak abad ke-17 tak hanya untuk berdagang, tapi juga membawa warisan seni dan ritme musik yang berpadu dengan budaya lokal.
“Dalam tari cokek, kita melihat bukan hanya tubuh yang bergerak, tetapi sejarah yang berdialog,” ujarnya.
Irama pengiring tari cokek berasal dari orkestra gambang kromong, sebuah ensambel musik hasil kawin silang antara alat musik Tionghoa (seperti tehyan, kongahyan, dan sukong) dengan alat musik Betawi seperti rebana dan gendang.
Lagu-lagu yang dimainkan pun banyak menggunakan bahasa Melayu-Betawi bercampur dialek Hokkian, menciptakan nuansa khas yang sulit ditemukan di daerah lain.
Gerakan tari ciokek lembut namun ekspresif. Penari perempuan biasanya mengenakan kebaya encim, kain batik pesisir, dan selendang yang dimainkan dengan lentik tangan.
Sementara penari pria mengenakan pakaian serba hitam dengan selendang di pinggang.
Tarian ini kerap ditampilkan berpasangan, menggambarkan interaksi sosial dan harmoni dalam kehidupan komunitas Tionghoa-Betawi.
“Gerakan membungkuk dan saling memberi selendang adalah simbol penghormatan antarinsan. Semangatnya bukan sekadar romantis, tapi juga tentang saling menghargai perbedaan,” kata Evi Susanti, salah seorang pelatih tari tradisional Tangerang.
Dahulu, tari cokek tidak dipentaskan di sembarang waktu. Ia muncul dalam acara pernikahan, ulang tahun, dan perayaan Imlek di komunitas Tionghoa-Betawi.
Penonton sengaja diajak naik ke panggung untuk ikut menari, menandakan keterbukaan dan inklusivitas dalam tradisi tersebut.
Kini, tari cokek kerap tampil dalam festival budaya Tangerang, seperti Festival Cisadane atau Festival Peh Cun, menjadi ikon yang merepresentasikan identitas multikultural kota itu. Pemerintah daerah bersama komunitas seni setempat berupaya melestarikan tari ini lewat sanggar-sanggar tari dan pendidikan muatan lokal di sekolah.
Tari ciokek tak hanya menggambarkan harmoni gerak, tetapi juga harmoni sosial. Dalam setiap langkahnya, tersimpan pesan bahwa budaya bukan tembok pemisah, melainkan jembatan yang menghubungkan.
Antropolog budaya Prof. Melani Budianta pernah menyebut tari cokek sebagai “naskah tubuh” yang menulis sejarah hubungan Tionghoa dan pribumi dalam bentuk paling lembut yakni seni. Ia menjadi bukti bahwa akulturasi bukan ancaman bagi keaslian budaya, tetapi justru sumber kekayaan budaya.
Tari cokek adalah cermin hidup dari perjalanan panjang akulturasi antara budaya Tionghoa dan Betawi. Ia bukan hanya tentang gerakan dan musik, melainkan tentang identitas bersama yang lahir dari pertemuan, bukan perbedaan.













