SUGAWA.ID – Di bawah cahaya bulan purnama yang bulat sempurna, halaman tengah Hotel Intan, Cirebon, tampak ramai dan semarak pada Selasa (7/10) malam.
Lampion berwarna merah bergelantungan, aroma kue bulan yang manis tercium di udara, dan lantunan musik tradisional Tionghoa mengalun lembut mengiringi senyum hangat para tamu.
Malam itu, Perhimpunan Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Cirebon kembali menggelar Festival Moon Cake 2025—sebuah perayaan yang bukan sekadar pesta, melainkan juga penghormatan terhadap nilai-nilai leluhur yang telah bertahan ribuan tahun.
“Setiap tahun kami rayakan dengan harapan agar tradisi ini tetap hidup di hati generasi muda,” ujar Ketua PSMTI Cirebon, Husein Gito Susilo di sela acara.
Ia menambahkan bahwa Festival Moon Cake atau Zhong Qiu Jie bukan hanya tentang kue bulan, tetapi tentang kebersamaan, syukur, dan bakti keluarga—nilai yang menjadi inti budaya Tionghoa.
Acara yang berlangsung di ruang terbuka itu dihadiri oleh berbagai tokoh masyarakat dan pejabat daerah, termasuk Mantan Ketua Umum PSMTI Cirebon Hariyono Sutikno, Wakil Ketua PSMTI DKI John Darmansyah, serta sejumlah perwakilan dari pondok pesantren di Cirebon—menunjukkan semangat keberagaman dan toleransi antarumat yang kuat di kota pesisir ini.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, malam perayaan diisi dengan santap malam bersama dan berbagai penampilan budaya: tarian tradisional, atraksi wushu yang energik, serta pertunjukan musik khas Tionghoa.
Semua unsur itu seolah menjadi jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini, antara akar tradisi leluhur dan semangat modernitas warga Tionghoa di Indonesia.
“Bulan purnama melambangkan kesempurnaan dan kebersamaan. Karenanya, malam ini kami berkumpul untuk mempererat tali persaudaraan, tanpa melihat latar belakang,” ujar Wakil Ketua PSMTI Cirebon, Lim Mulyadi.
Namun yang paling menggetarkan hati malam itu adalah prosesi Basuh Kaki Orang Tua—sebuah tradisi penuh makna yang menjadi puncak acara.
Sepuluh orang tua berusia di atas 80 tahun duduk di atas panggung, sementara anak dan cucu mereka satu per satu membasuh kaki para sepuh dengan air yang telah disiapkan. Suasana yang tadinya riuh mendadak hening dan haru.
Banyak mata yang berkaca-kaca menyaksikan prosesi tersebut. Di tengah dunia yang serba cepat dan modern, adegan sederhana itu menjadi pengingat bahwa nilai bakti dan penghormatan terhadap orang tua tetap menjadi pilar utama dalam kehidupan keluarga Tionghoa.
“Ini bukan sekadar seremoni,” kata Untung Chandra, salah satu panitia. “Ini adalah simbol terima kasih dan cinta kasih seorang anak kepada orang tuanya. Kita ingin generasi muda melihat dan meneladani makna di baliknya.”
Kehadiran para tokoh masyarakat lintas agama dan budaya, termasuk perwakilan dari sejumlah pondok pesantren, menambah kehangatan malam itu.
Perayaan ini bukan hanya ajang memperingati tradisi Tionghoa, tetapi juga ruang silaturahmi yang menegaskan wajah toleran Cirebon—kota yang sejak berabad-abad dikenal sebagai titik temu berbagai kebudayaan.
Budaya Tionghoa adalah bagian dari mozaik besar kebudayaan Indonesia. Acara seperti ini menunjukkan bahwa keberagaman bisa dirayakan dengan penuh damai dan sukacita.
Ketika bulan perlahan naik lebih tinggi di langit Cirebon, para tamu menutup malam dengan berfoto bersama di bawah cahaya lampion. Kue bulan dibagikan, tawa terdengar di antara meja-meja, dan sinar purnama seolah menjadi saksi betapa indahnya harmoni yang terjalin di kota ini.



