SUGAWA.ID – Ada satu stereotipe yang kerap terdengar di masyarakat tentang orang Tionghoa yang dianggap “pelit berbagi ilmu”.
Pandangan ini muncul karena ada kebiasaan sebagian komunitas orang tionghoa yang lebih suka menurunkan keterampilan hanya dalam lingkaran keluarga atau kelompok dekat.
Namun, jika ditelusuri lebih dalam, sejarah dan sastra Tiongkok justru menunjukkan sebaliknya. Hampir semua ilmu pengetahuan besar yang dimiliki orang Tionghoa justru terdokumentasi dalam bentuk tulisan, catatan, hingga karya sastra yang diwariskan lintas generasi.
Sejak ribuan tahun lalu, Tiongkok sudah memiliki tradisi literasi kuat. Seperti Lunyu (Analek Konfusius), Sunzi Bingfa (Seni Perang Sunzi), hingga Bencao Gangmu karya Li Shizhen tentang obat-obatan tradisional adalah bukti nyata bagaimana ilmu bukan hanya disimpan, melainkan dibuka lewat teks.
Belum lagi ada Ilmu pertanian, astronomi, kedokteran, strategi militer, hingga filsafat hidup dituangkan dalam bentuk sastra klasik yang dapat dipelajari siapa saja.
Menurut Dr. Leo Suryadinata, pakar studi Tionghoa dari ISEAS–Yusof Ishak Institute, “Orang Tionghoa tidak pelit ilmu. Tradisi mereka menekankan pencatatan. Hampir semua pengetahuan besar dituliskan agar bisa diwariskan, meskipun pada masa lalu ada keterbatasan akses karena hanya kalangan terdidik yang bisa membaca.”
Mengapa kemudian muncul anggapan orang Tionghoa “pelit berbagi ilmu”?
Sebagian besar karena nilai budaya guanxi (hubungan sosial). Ilmu praktis—seperti resep dagang, teknik memasak, atau cara berdagang—sering dianggap aset keluarga yang harus dijaga.
Tetapi ini berbeda dengan ilmu pengetahuan umum. “Yang sering dirahasiakan adalah strategi bisnis atau keterampilan praktis yang terkait penghidupan. Itu lebih ke persoalan ekonomi, bukan soal pelit ilmu pengetahuan,” jelas Dr. Henri Chambert-Loir, sejarawan yang banyak meneliti manuskrip Asia.
Sastra Tiongkok bukan hanya cerita, tetapi juga “perpustakaan hidup”. Misalnya:
Roman Tiga Kerajaan (San Guo Yan Yi) tidak hanya kisah perang, tapi juga buku tentang strategi kepemimpinan.
Puisi-puisi Tang menyimpan pengetahuan astronomi dan geografi.
Novel Perjalanan ke Barat (Xi You Ji) berlapis simbolisme agama, filsafat, dan etika hidup.
Dalam pandangan Prof. Anne Cheng, ahli filsafat Tiongkok dari Collège de France, “Teks sastra Tiongkok adalah medium pengajaran. Pengetahuan tidak dipisahkan dari cerita; ia dilebur dalam kisah agar mudah dipahami dan diwariskan.”
Membongkar Mitos
Jadi, benarkah orang Tionghoa pelit ilmu? Jawabannya: tidak sepenuhnya tepat. Tradisi mereka justru sangat kaya dalam mendokumentasikan pengetahuan.
Yang terjadi adalah pemisahan antara “ilmu umum” yang diwariskan lewat teks dan “ilmu praktis” yang dijaga dalam lingkaran keluarga.
Sastra Tiongkok menjadi bukti bahwa masyarakat Tionghoa percaya pada kekuatan kata-kata untuk menyimpan dan menyebarkan pengetahuan.
Dengan begitu, pengetahuan tidak hilang, tetapi abadi, menunggu untuk dibaca kembali oleh generasi berikutnya.