SUGAWA.ID – Pada masa kecilnya di pedesaan Tiongkok, penulis dan peraih Nobel Sastra Pearl S. Buck tumbuh di antara dua dunia: Timur dan Barat. Ayahnya, Earl S. Buck, seorang misionaris Amerika yang tinggal di Provinsi Anhui pada akhir abad ke-19, memperkenalkannya pada bahasa dan budaya Tionghoa — termasuk pada sastra klasik seperti Samkok (三国演义, Romance of the Three Kingdoms).
Namun, dalam catatan keluarga Buck, roman Samkok bukanlah bacaan yang disetujui semua orang tua. Di Tiongkok kala itu, banyak keluarga justru melarang anak-anak membaca kisah perang dan tipu daya itu.
Dalam catatannya, Earl S. Buck menulis bahwa Samkok sering dianggap “buku yang bisa menyesatkan anak muda.” Ia menceritakan bahwa sejumlah orang tua Tionghoa percaya bahwa kisah tentang perebutan kekuasaan antara tiga kerajaan—Wei, Shu, dan Wu—dapat menumbuhkan kecerdikan tanpa moralitas.
“Mereka takut anak-anak akan belajar bagaimana menipu dengan cerdas, bukan bagaimana hidup dengan benar,” tulis Earl S. Buck dalam salah satu laporannya tentang masyarakat Tiongkok pada awal 1900-an.
Kekhawatiran itu berakar dari nilai-nilai Konfusianisme, yang menekankan kesetiaan, kebenaran, dan bakti. Samkok, dengan tokoh seperti Cao Cao yang pandai namun licik, tampak bertentangan dengan ajaran itu.
Sementara tokoh seperti Zhuge Liang dan Liu Bei memang digambarkan setia dan bijak, tetapi kisah Samkom ini penuh dengan adegan peperangan, tipu muslihat, dan pengkhianatan yang dianggap tidak cocok bagi anak muda.
Sementara dalam autobiografinya My Several Worlds (1954), Pearl S. Buck mengenang bahwa ia mendengar kisah-kisah Samkok dari para pelayan dan petani, meski tahu bahwa sebagian orang tua melarang anak-anak mereka membaca buku itu.
“Di rumah-rumah Tionghoa yang terhormat, anak-anak tidak membaca Samkok — tapi mereka mendengar kisahnya di pasar, dari para pendongeng tua yang membuatnya hidup dengan kata-kata,” tulis Pearl S Buck.
“Aku belajar bahwa di balik larangan itu, tersembunyi rasa hormat yang dalam terhadap kekuatan cerita Samkok ini,” tulisnya.
Baginya, Samkok bukan sekadar kisah perang, melainkan refleksi tentang kemanusiaan, kesetiaan, dan pengkhianatan.
Ia menyadari betapa besar pengaruh cerita itu terhadap cara orang Tionghoa memahami dunia — bahwa hidup bukan hanya soal benar atau salah, tetapi juga soal kebijaksanaan dan kelangsungan.
Bagi Earl S. Buck, larangan membaca Samkok menunjukkan dilema moral Tiongkok: antara idealisme moral dan realitas kehidupan.
Ia mencatat bahwa meskipun para orang tua khawatir terhadap pengaruh buruknya, para pria dewasa — terutama pejabat dan pedagang — justru mempelajari Samkok sebagai panduan strategi dan psikologi manusia.
“Mereka membaca Samkok bukan untuk kesenangan, tetapi untuk memahami bagaimana dunia bekerja,” tulis Earl.
Artinya, buku yang dilarang bagi anak-anak justru menjadi bacaan wajib bagi orang dewasa bahkan menjadi “manual taktis” dalam kehidupan sosial dan politik.
Kini, Samkok tak lagi dianggap berbahaya. Ia menjadi bagian dari kurikulum, inspirasi film, drama, hingga permainan strategi. Kisah yang dulu “terlalu berbahaya untuk anak-anak” kini dianggap mahakarya moral dan strategi hidup.
Pearl S. Buck, yang tumbuh di antara larangan dan rasa ingin tahu, menulisnya dengan indah:
“Mungkin itulah kekuatan cerita besar Samkok— ia menakutkan bagi mereka yang ingin dunia tetap sederhana,” tulisnya.
Larangan membaca Samkok pada masa Earl S. Buck mengingatkan kita bahwa setiap karya besar pernah disalahpahami. Dulu dianggap menyesatkan, kini justru mendidik.
Samkok mengajarkan bahwa moralitas bukan selalu tentang ketaatan, tapi tentang memahami sisi gelap dan terang dalam diri manusia.
Dan mungkin, seperti kata Pearl S. Buck, kisah yang “dilarang” itulah yang akhirnya membentuk pandangan dunia — tidak hitam putih, melainkan penuh warna kebijaksanaan.








