SUGAWA.ID – Di balik panjangnya sejarah Tiongkok, ada lima roman klasik yang hingga kini dianggap sebagai mahakarya sastra dunia.
Lima roman klasik Tiongkok ini ditulis antara abad ke-14 hingga ke-18 dan menariknya karya-karya ini bukan sekadar cerita panjang, tetapi juga menjadi potret sosial, politik, dan budaya yang membentuk peradaban Tiongkok.
Jika Anda ingin mengenal jiwa bangaa Tiongkok lebih dekat, lima roman klasik Tiongkok ini adalah pintu masuk terbaik.
- Romance of the Three Kingdoms (三国演义 – Sānguó Yǎnyì)
Ditulis Luo Guanzhong pada abad ke-14, roman ini mengisahkan perebutan kekuasaan antara tiga kerajaan besar: Wei, Shu, dan Wu.
Tokoh-tokoh legendaris seperti Zhuge Liang, Guan Yu, dan Cao Cao hadir dengan strategi, intrik, dan nilai kepemimpinan yang masih relevan hingga sekarang.
Tak heran, buku yang dikenal di Indonesia dengan nama Sam Kok ini sering dijadikan rujukan dalam studi strategi militer dan politik.
- Water Margin (水浒传 – Shuǐhǔ Zhuàn)
Karya Shi Nai’an ini berkisah tentang 108 pemberontak yang bersatu melawan rezim korup di era Dinasti Song.
Banyak yang menyebutnya sebagai “Robin Hood versi Tiongkok”. Roman ini penuh aksi, persaudaraan, dan kritik sosial tentang ketidakadilan, sehingga tetap terasa segar meski ditulis berabad-abad lalu.
- Journey to the West (西游记 – Xīyóu Jì)
Mahakarya Wu Cheng’en ini barangkali yang paling populer di seluruh dunia. Kisah biksu Tang Sanzang bersama Sun Wukong (Raja Kera), Zhu Bajie, dan Sha Wujing dalam mencari kitab suci di India sarat petualangan, humor, dan filsafat.
Sun Wukong sendiri telah menjelma ikon budaya pop global, hadir dalam film, komik, hingga video game.
Lewat buku ini kita akan diajarkan tentang bagaimana seseorang menjadi tamak lewat sosok Zhu Bajie atau tulus seperti Sha Wujing serta sulit diatur seperti Sun Wukong.
- Dream of the Red Chamber (红楼梦 – Hónglóu Mèng)
Cao Xueqin menulis roman ini pada abad ke-18, menghadirkan kisah jatuh-bangunnya keluarga aristokrat. Cerita cinta tragis antara Jia Baoyu dan Lin Daiyu menjadi pusat kisah, namun keindahan karya ini justru ada pada detail kehidupan sehari-hari, dari adat, makanan, hingga musik. Tak heran ia disebut sebagai “Ensiklopedia Budaya Tiongkok”. - The Scholars (儒林外史 – Rúlín Wàishǐ)
Wu Jingzi menulis satir pedas tentang kaum intelektual Konfusian yang berambisi mengejar jabatan melalui ujian negara. Roman ini mengungkap kemunafikan, keserakahan, dan korupsi moral di balik topeng “cendekiawan”. Pesan utamanya masih terasa relevan: pendidikan sejati bukan sekadar soal gelar, melainkan integritas.
Mengapa Harus Dibaca?
Menurut Dr. Liu Hong, sejarawan sastra dari Beijing University, kelima roman ini adalah “cermin jiwa Tiongkok”.
Ia menegaskan, “Dari cara orang Tiongkok memandang kekuasaan, cinta, keadilan, spiritualitas, hingga pendidikan, semuanya tergambar jelas dalam roman-roman klasik ini.”
Di era digital yang serba instan, membaca roman klasik mungkin terasa menantang. Namun justru di situlah nilai pentingnya. Roman-roman ini mengajak pembaca merenungkan hal-hal yang sering terlupakan: loyalitas, keberanian, kebijaksanaan, kritik sosial, hingga rapuhnya kejayaan manusia.
Lima roman klasik Tiongkok ini bukan hanya milik masa lalu, tetapi warisan dunia yang terus hidup. Membacanya berarti membuka jendela menuju kebijaksanaan yang melampaui zaman dan budaya.