SUGAWA.ID – Kekaisaran Tiongkok selama lebih dari dua milenium dikenal dengan keagungan budaya, kemajuan teknologi, dan sistem pemerintahan yang rapi. Namun di balik istana megah dan tembok yang menjulang, ada sisi lain dari para “Putra Langit” yang menciptakan kebijakan aneh yang kadang tak masuk akal, sebagian terbukti secara historis, sebagian lagi berbalut legenda.
Inilah lima kebijakan aneh kaisar Tiongkok, lengkap dengan catatan sejarah dan pandangan para ahli.
1. Qin Shi Huang: Membakar Buku dan Mengubur Cendekiawan
Kaisar pertama Tiongkok yang menyatukan negeri pada 221 SM ini dikenal ambisius. Namun, di balik proyek raksasa seperti Tembok Besar, ia menciptakan salah satu kebijakan yang aneh sekaligus paling kejam dalam sejarah: pembakaran buku dan penguburan hidup-hidup para sarjana.
Catatan Sima Qian dalam Shiji (Records of the Grand Historian) menyebutkan bahwa Qin Shi Huang memerintahkan agar semua teks filsafat non-Legalism dimusnahkan. Hanya buku tentang pertanian, kedokteran, dan ramalan yang boleh disimpan. Di tahun berikutnya, sekitar 460 sarjana yang menentang perintah itu dijatuhi hukuman mati.
Namun, sejarawan modern tidak sepenuhnya sepakat. Beberapa peneliti seperti yang dikutip dari China Journal (2023) menyatakan bahwa kisah “penguburan hidup” kemungkinan dilebih-lebihkan oleh penulis Dinasti Han sebagai propaganda anti-Qin.
Meski begitu, inti kebijakannya yang berisi penyensoran ide dan kontrol total terhadap pengetahuan dapat dipastikan bahwa hal tersebut benar-benar nyata. Encyclopaedia Britannica mencatat bahwa pembakaran buku pada 213 SM memang terjadi atas perintah Perdana Menteri Li Si.
“Kebijakan ini menunjukkan sisi ekstrem Legalism: kekuasaan dijaga dengan menekan pikiran bebas,” tulis China Journal.
2. Kaisar Han Wudi: Memonopoli Anggur untuk Istana
Pada masa Dinasti Han (141–87 SM), Kaisar Han Wudi dikenal sebagai pemimpin kuat yang memperluas wilayah dan memajukan ekonomi. Namun di balik keberhasilan itu, ia menerapkan kebijakan aneh yaitu melarang rakyat membuat anggur sendiri.
Produksi minuman beralkohol hanya boleh dilakukan di bawah kendali istana. Tujuannya, mengontrol ekonomi sekaligus budaya rakyat yang dianggap terlalu bebas.
Catatan klasik Book of Han (Hanshu) mencatat bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari sistem monopoli kerajaan terhadap garam, besi, dan minuman keras untuk menambah kas negara.
Namun bagi rakyat, kebijakan itu lebih terasa seperti kekangan. Mereka kehilangan tradisi meracik arak lokal untuk upacara atau pesta desa.
“Monopoli Han Wudi secara ekonomi efektif, tapi secara sosial menekan budaya rakyat,” ujar Prof. Mark Edward Lewis dari Stanford University dalam studinya mengenai The Early Chinese Empires: Qin and Han.
3. Kaisar Sui Yangdi: Pesta di Tengah Kelaparan
Sui Yangdi (memerintah 604–618 M) sering disebut sebagai kaisar yang menjatuhkan dinastinya sendiri. Ia membangun Kanal Besar, proyek monumental yang menghubungkan Sungai Kuning dan Yangtze. Namun proyek ini menyebabkan korban yang besar akibat terjadinya pajak berat, kerja paksa, dan kelaparan di berbagai daerah.
Ironisnya lagi, dikala rakyat sedang menderita, ia justru mengadakan pesta mewah di atas kapal raksasa yang berhiaskan emas. Catatan Zizhi Tongjian karya Sima Guang menggambarkan jamuan malamnya melibatkan ribuan lentera dan dayang.
“Pesta itu menjadi simbol penguasa yang kehilangan simpati rakyat,” tulis Sima Guang.
Banyak sejarawan modern, termasuk Charles Holcombe dalam A History of East Asia, menyimpulkan gaya hidup boros Sui Yangdi sebagai penyebab Dinasti Sui hanya memiliki dua generasi setelah berdiri dan kemudian berakhir dengan keruntuhan dari dinasti tersebut.
4. Kaisar Tang Xianzong: Menyembah Patung Diri Sendiri
Pada masa Dinasti Tang, Kaisar Xianzong (memerintah 805–820 M) dikenal sebagai kaisar yang memperkuat kekuasaan pusat. Namun, satu kebijakan eksentrik sempat mengundang berbagai kecaman yaitu ia memerintahkan rakyat dan pejabat untuk menyembah patung dirinya di kuil istana.
Beberapa catatan Tang menyebut ritual ini merupakan bagian dari upaya yang menegaskan posisi “Putra Langit” sebagai perwujudan kehendak ilahi. Meskipun secara pandangan politik hal ini bersifat efektif, namun secara moral tindakan itu dianggap berlebihan, terutama dalam konteks ajaran Konfusianisme yang menolak pemujaan terhadap individu.
Profesor Howard J. Wechsler dalam bukunya yang berjudul Mirror to the Son of Heaven menulis, “Tindakan semacam itu memperlihatkan betapa tipisnya batas antara simbolisme kekuasaan dan kultus pribadi.”
5. Kaisar Ming Zhengde: Kaisar yang Hobi Menyamar
Kaisar Zhengde (memerintah 1505–1521 M) terkenal karena perilakunya yang eksentrik. Ia sering meninggalkan istana untuk berkelana sambil menyamar sebagai pedagang atau perwira, bahkan membangun markas pribadi bernama Leopard Quarter di luar Kota Terlarang untuk berpesta dan berburu.
Catatan sejarah resmi Ming Shilu dan penelitian di EBSCO Research Starters mencatat bahwa ia jarang menghadiri urusan negara, dan pemerintahan sehari-hari dikuasai oleh kasim Liu Jin.
Beberapa legenda rakyat menggambarkannya memaksa orang lain bermain peran sebagai dirinya selagi ia menyamar, tapi kisah itu sulit diverifikasi. Meski begitu, perilaku tak terkontrol tersebut jelas menyebabkan kekacauan politik.
“Pemerintahannya menunjukkan bagaimana kekuasaan absolut tanpa pengawasan moral dapat berubah menjadi sandiwara pribadi,” tulis sejarawan Ming, Ray Huang, dalam 1587: A Year of No Significance.
Di Antara Fakta dan Legenda
Sebagian kisah di atas terbukti, sebagian lagi mungkin dilebih-lebihkan oleh penulis dinasti berikutnya. Namun semuanya menggambarkan satu pola yang sama yaitu ketika kekuasaan tidak dibatasi, keputusan aneh bisa lahir dari satu perintah tunggal.
Para kaisar Tiongkok tidak hanya memimpin sebuah negara, mereka juga mengatur cara berpikir, berproduksi, bahkan cara rakyat merayakan hidup.
Bagi sejarawan, kisah-kisah ini menjadi cermin bahwa logika kekuasaan kadang lebih kuat dari akal sehat.













