Skip to content
  • Rabu, 19 November 2025
  • 2:01 am
  • Sosial Media Kami
Sugawa
  • Home
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • Home
  • Antara Dua Dunia: Jejak dan Identitas Keturunan Tionghoa di Indonesia
Kategori
  • Bisnis dan Iptek (21)
  • Budaya (28)
  • Komunitas (3)
  • Sastra dan Komik (8)
  • Sejarah dan Mitologi (34)
  • Sosok (17)
Sejarah dan Mitologi

Antara Dua Dunia: Jejak dan Identitas Keturunan Tionghoa di Indonesia

sugawai1 Okt 30, 2025 0

SUGAWA.ID — Menjadi bagian dari dua dunia tidaklah mudah. ​​Itulah kisah panjang keturunan Tionghoa di Indonesia—sebuah komunitas yang telah menjadi bagian dari perjalanan bangsa selama berabad-abad, namun seringkali berada di garis tipis antara “kita” dan “mereka”. Sepanjang sejarah panjang Indonesia, orang Tionghoa tidak datang begitu saja sebagai pedagang atau migran. Mereka membawa serta budaya, bahasa, dan nilai-nilai kerja keras yang telah membentuk lanskap ekonomi dan sosial negara. Namun di balik semua ini terdapat kisah pencarian identitas yang terus berlanjut dari generasi ke generasi.

Jejak Awal Utara

Kehadiran orang Tionghoa di kepulauan Indonesia telah tercatat sejak abad ke-5 Masehi. Catatan dari Dinasti Tang dan Song menyebutkan pelayaran dari Tiongkok ke Sriwijaya dan Jawa. Mereka tiba membawa sutra, porselen, dan rempah-rempah, membangun hubungan dagang yang kemudian berkembang menjadi komunitas permanen.

Pada masa Majapahit, banyak orang Tionghoa menetap dan berbaur dengan penduduk lokal, terutama di pesisir utara Jawa, seperti Lasem, Tuban, dan Semarang. Dari percampuran ini, muncullah budaya Peranakan—yang unik karena perpaduan unsur Tionghoa dan lokal, termasuk bahasa, makanan, dan adat istiadat.

Kedatangan kolonialisme Belanda mengubah banyak hal. Pemerintah kolonial menerapkan sistem klasifikasi sosial yang membagi masyarakat menjadi tiga kelompok: Eropa, Pribumi, dan Oriental Asing. Mereka yang keturunan Tionghoa ditempatkan di kelas menengah, sering digunakan sebagai perantara ekonomi, tetapi tetap dianggap “bukan bagian dari penduduk asli.” Inilah bagaimana identitas ganda mulai terbentuk—yang diakui sekaligus dijauhi.

Antara Asimilasi dan Akulturasi

Setelah kemerdekaan, posisi keturunan Tionghoa di Indonesia mengalami dinamika yang kompleks. Mereka turut serta dalam perjuangan pergerakan nasional—nama-nama seperti Liem Koen Hian, Kwee Kek Beng, dan Yap Tjwan Bing tercatat dalam sejarah—namun diskriminasi tetap lazim dalam praktik sosial.

Terkadang, kebijakan pemerintah bahkan menuntut “penyesuaian total” atau asimilasi. Nama-nama Tionghoa diubah, dan sekolah serta surat kabar berbahasa Mandarin dibatasi. Dalam situasi seperti itu, banyak keluarga Tionghoa memilih untuk beradaptasi demi keamanan, sementara yang lain berusaha mempertahankan tradisi leluhur mereka di ruang pribadi mereka.

Namun, dari tekanan ini, muncul bentuk-bentuk budaya baru yang berkontribusi pada kemakmuran Indonesia. Masakan Peranakan, bahasa campuran, bahkan seni barongsai dan wushu menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, terlepas dari etnisitasnya.

Membangun dari Ruang Ekonomi

Tak dapat dipungkiri bahwa orang-orang keturunan Tionghoa telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi sektor ekonomi. Dari era kolonial hingga saat ini, banyak dari mereka dikenal sebagai pedagang, wirausahawan, dan profesional yang sukses. Etos kerja keras, pengelolaan keuangan yang disiplin, dan budaya keluarga yang kuat telah memungkinkan banyak bisnis mereka bertahan lintas generasi.

Namun, kesuksesan ini juga seringkali memunculkan stereotip yang tidak selalu positif. Ada masa ketika orang-orang keturunan Tionghoa mendominasi perekonomian, meskipun banyak dari mereka juga berjuang dari nol, bekerja keras di pasar tradisional, toko kelontong, dan bahkan industri kecil.

Dalam dua dekade terakhir, citra ini mulai berubah. Generasi muda keturunan Tionghoa kini aktif terlibat di sektor kreatif, teknologi, dan sosial. Mereka tidak hanya mencari keuntungan tetapi juga berupaya membangun jembatan budaya—untuk menjadi bagian integral masyarakat Indonesia, tanpa kehilangan akar leluhur mereka.

Kebangkitan Identitas di Era Modern

Reformasi 1998 menandai titik balik yang signifikan. Larangan penggunaan budaya dan bahasa Tionghoa dicabut, Tahun Baru Imlek ditetapkan kembali sebagai hari libur nasional, dan kesenian seperti barongsai dipertunjukkan secara bebas di ruang publik. Sejak saat itu, identitas Tionghoa perlahan muncul kembali, bukan sebagai “yang lain”, melainkan sebagai bagian dari ke-Indonesia-an itu sendiri.

Generasi muda kini tumbuh dengan kebanggaan ganda: sebagai warga negara Indonesia dan sebagai pewaris budaya Tionghoa. Mereka belajar bahasa Mandarin, berziarah ke makam leluhur, dan aktif dalam organisasi kampus, komunitas seni, dan gerakan sosial. Identitas yang dulu dianggap beban kini telah menjadi sumber kekuatan dan inspirasi.

Harmoni yang Ditemukan Kembali

Dalam filsafat Tiongkok, ada pepatah lama: “Air dan ikan tak terpisahkan.” Hal yang sama berlaku untuk hubungan antara komunitas Tionghoa dan Indonesia—mereka saling membutuhkan, mereka saling melengkapi. Saat ini, di banyak kota, kita dapat menyaksikan harmoni ini: rumah-rumah Tionghoa kuno berdiri berdampingan dengan masjid dan kelenteng; kuliner Peranakan menjadi makanan pokok; dan kaum muda merayakan Tahun Baru Imlek tanpa rasa takut, sambil tetap menyanyikan “Indonesia Raya” dengan bangga.

Menjadi orang Tionghoa di Indonesia saat ini bukan lagi tentang memilih satu identitas dan meninggalkan yang lain. Ini adalah perjalanan menemukan keseimbangan—antara menghormati warisan leluhur dan mencintai tanah air.

Kesimpulan: Dari Keberagaman Menuju Persatuan

Sejarah Tionghoa-Indonesia bukanlah kisah perpecahan, melainkan kisah adaptasi dan ketahanan. Mereka telah melewati masa-masa sulit, namun tetap tangguh dan berkontribusi. Kini, seiring memudarnya batas-batas etnis, peran mereka semakin krusial: mengingatkan kita bahwa bangsa ini didirikan bukan atas dasar keseragaman, melainkan atas dasar keberagaman yang bersatu.

Karena, sesungguhnya, menjadi orang Indonesia bukanlah tentang darah atau nama, melainkan tentang rasa memiliki—dan Tionghoa-Indonesia telah lama membuktikan hal ini.


Keturunan TionghoaOrang TionghoaSejarah Indonesia
sugawai1

Website: https://sugawa.id

Related Story
Sejarah dan Mitologi
Jejak Panjang Uang dari Kerang hingga Digital: Sejarah Mata Uang di China
sugawai1 Nov 14, 2025
Sejarah dan Mitologi
Cita Rasa Hidangan Laut dari Negeri Tirai Bambu: Hidangan Laut Eksotis Tiongkok yang Memikat Dunia 
sugawai1 Nov 11, 2025
Sejarah dan Mitologi
Legenda Ular Putih: Cinta, Karma, dan Melampaui Kemanusiaan
sugawai1 Nov 8, 2025
Sejarah dan Mitologi
Menelusuri Asal Usul Nama “Tionghoa”: Dari Zhonghua hingga Identitas Peranakan 
sugawai1 Nov 8, 2025
Sejarah dan Mitologi
Shenzhen: Dari Desa Nelayan ke Lembah Silikon Tiongkok
sugawai1 Nov 6, 2025
Sejarah dan Mitologi
Feng Shui: Menata Ruang, Menyelaraskan Kehidupan
sugawai1 Okt 29, 2025
Sejarah dan Mitologi
Ketika Tionghoa Ikut Bersumpah: Jejak yang Terlupakan di Balik Sumpah Pemuda
sugawai1 Okt 28, 2025
Sejarah dan Mitologi
Jejak Pengobatan Tiongkok: Antara Alam, Keseimbangan, dan Kebijaksanaan Ribuan Tahun
sugawai1 Okt 26, 2025
Sejarah dan Mitologi
Shio Tionghoa: Ketika Waktu, Alam, dan Kepribadian Bersatu dalam Dua Belas Hewan
sugawai1 Okt 26, 2025
Sejarah dan Mitologi
Jejak Hitam Putih: Keindahan dan Filosofi Lukisan Tinta Tiongkok
sugawai1 Okt 25, 2025
Sejarah dan Mitologi
Jejak pada Tulang: Kelahiran Jiaguwen, Tulisan Pertama Tiongkok
sugawai1 Okt 25, 2025
Sejarah dan Mitologi
Nasi Goreng: Jejak Perpaduan Budaya dari Tiongkok ke Indonesia
sugawai1 Okt 25, 2025

Copyright © 2025 | Sugawa.id | NewsExo by ThemeArile

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Tentang Kami