SUGAWA.ID – Cinta dalam mitologi Tiongkok tidak selalu berakhir bahagia, bahkan banyak dari antaranya yang berakhir tragis.
Banyak kisah dalam mitologi Tiongkok justru dituturkan turun-temurun karena kepedihan dan pengorbanan yang ditinggalkannya. Dari kupu-kupu yang lahir dari tragedi hingga tangisan yang meruntuhkan Tembok Besar, inilah kisah-kisah romansa tragis yang membentuk wajah kebudayaan Tiongkok.
Liang Shanbo dan Zhu Yingtai: Kupu-Kupu dari Air Mata
Dalam mitologi Tiongkok terdapat kisah yang seringkali disebut sebagai “Romeo dan Juliet dari Tiongkok”, Liang Shanbo dan Zhu Yingtai merupakan simbol cinta yang tak direstui. Zhu Yingtai, gadis cerdas dari keluarga kaya, menyamar sebagai pria agar bisa menempuh pendidikan. Di sana ia bersahabat dengan Liang Shanbo. Mereka dekat, namun Liang tidak mengetahui bahwa identitas sebenarnya dari Zhu adalah seorang perempuan.
Ketika kebenarannya terungkap, takdir sudah terlanjur menutup jalan: Zhu dijodohkan dengan pria lain. Liang meninggal diakibatkan oleh patah hati, dan pada hari pernikahan Zhu, makam Liang retak terbuka. Zhu memilih melompat masuk, dan keduanya menjelma menjadi sepasang kupu-kupu. Mereka memang tak pernah bersatu di dunia, tapi bebas terbang bersama di alam lain.
Niulang dan Zhinu: Terpisah oleh Galaksi
Niulang seorang gembala sederhana dan Zhinu sang bidadari penenun pernah hidup bahagia sebagai suami-istri di bumi. Namun kebahagiaan itu tak direstui oleh Surga. Ratu Ibu dari Langit memisahkan mereka dengan Sungai Perak—yang kita kenal sebagai Bima Sakti. Hanya sekali setahun, pada malam festival Qixi, burung murai akan membentuk jembatan di langit sehingga keduanya bisa bertemu.
Tragedi mereka tak hanya jadi legenda, tapi juga melahirkan tradisi. Hingga saat ini, Qixi dirayakan sebagai “Valentine Tiongkok”, pengingat bahwa cinta sejati kadang hanya bisa bertahan dalam pertemuan yang singkat.
Meng Jiangnü: Tangisan yang Meruntuhkan Tembok
Kisah Meng Jiangnü bukan sekedar romansa, tapi juga menjadi simbol penderitaan rakyat kecil. Suaminya, Fan Xiliang, dipaksa bekerja untuk membangun Tembok Besar Tiongkok hingga akhirnya meninggal. Saat Meng Jiangnü datang membawa pakaian musim dingin, ia hanya mendapatkan kabar kematian. Tangisannya begitu pilu hingga membuat sebagian tembok runtuh, memperlihatkan jasad sang suami.
Legenda ini lebih dari sekadar cerita cinta—ia juga menjadi kritik pada kekuasaan yang mengorbankan manusia, dan juga sebagai peringatan bahwa cinta sejati sanggup mengguncang bangunan megah dunia.
Legenda Ular Putih: Cinta yang Terkurung Pagoda
Bai Suzhen, roh ular putih yang menjelma menjadi wanita, jatuh cinta pada Xu Xian, seorang manusia. Mereka menikah, hidup damai, hingga pendeta Fahai turun tangan. Baginya, cinta antara manusia dan roh merupakan dosa alam. Bai Suzhen di penjara di bawah Pagoda Leifeng, sementara Xu Xian terpisah dari istrinya.
Dalam banyak versi, setelah ratusan tahun penebusan, barulah mereka bisa bertemu kembali. Kisah ini menggambarkan cinta yang melawan batas dunia, namun memiliki harga harus membayar yaitu sebuah penderitaan panjang.
Dong Yong dan Bidadari: Kebersamaan yang Singkat
Dong Yong adalah pemuda miskin yang rela bekerja sebagai buruh demi membiayai pemakaman ayahnya. Melihat ketulusannya, seorang bidadari turun dari surga, kemudian menikah dengannya, dan membantu melunasi hutangnya. Tetapi kebahagiaan itu tak bertahan lama. Aturan Surga melarang pernikahan mereka, dan sang bidadari dipaksa untuk kembali ke langit, meninggalkan Dong Yong dengan hancur hati.
Cinta mereka adalah pelajaran bahwa bahkan kasih yang paling tulus pun tak selalu bisa menaklukkan garis takdir.
Cinta, Takdir, dan Penderitaan
Kisah-kisah ini bertahan bukan karena ada kebahagiaan di ujungnya, melainkan karena luka dalam yang mereka tinggalkan. Liang Shanbo dan Zhu Yingtai mengajarkan bahwa cinta bisa menjadi abadi meski dunia menolaknya. Niulang dan Zhinu menunjukkan bahwa perpisahan kadang lebih kekal daripada kebersamaan. Meng Jiangnü mengingatkan kita bahwa cinta bisa menggambarkan suara perlawanan. Bai Suzhen dan Dong Yong mempertunjukkan batas tipis antara cinta, pengorbanan, dan takdir.
Dalam mitologi Tiongkok, cinta tidak selalu berarti “hidup bahagia selamanya”. Lebih sering menggambarkan bahwa ia adalah sebuah ujian—kadang kalah oleh kekuasaan, kadang ditelan oleh waktu, bahkan kadang melawan hukum langit. Justru dari sanalah lahir kisah-kisah yang abadi.













