SUGAWA.ID – Dalam sejarah panjang Tiongkok, pajak selalu menjadi urat nadi pemerintahan. Tanpa pajak, istana tak bisa membiayai tentara, membangun infrastruktur, atau menjaga stabilitas kekuasaan.
Namun, di tangan kaisar yang lalim, kebijakan pajak justru berubah menjadi alat penindasan.
Dari Dinasti Qin hingga Qing, catatan sejarah memperlihatkan betapa pungutan pajak yang terlalu berat sering menjadi sumber penderitaan rakyat dan bahkan mengguncang fondasi kekaisaran.
Sejak masa awal kekaisaran, pajak di Tiongkok tak hanya berupa emas atau hasil panen. Rakyat juga dipungut dalam bentuk tenaga kerja, yang dikenal sebagai corvée.
Para petani dipaksa meninggalkan sawah untuk bekerja membangun tembok, kanal, atau istana, sementara keluarga mereka dibiarkan lapar.
Menurut sejarawan Patricia Ebrey, “pajak di Tiongkok kuno pada dasarnya adalah instrumen kontrol sosial. Ia bukan hanya sekadar soal ekonomi, tetapi juga menunjukkan seberapa besar kaisar bisa menguasai hidup rakyatnya.”
Qin Shi Huang: Pajak Demi Kekekalan
Kaisar Qin Shi Huang (221–210 SM), kaisar pertama yang menyatukan Tiongkok, terkenal karena ambisi membangun proyek raksasa: Tembok Besar, jalan raya, hingga makam megah dengan pasukan terracotta. Semua itu dibiayai dari pajak yang mencekik.
Rakyat tak hanya menyerahkan hasil panen, tapi juga tenaga. Mereka yang tak mampu membayar dipaksa bekerja rodi dalam kondisi yang sering berujung pada kematian.
John Man, dalam bukunya The Terracotta Army, menyebut: “pajak pada masa Qin lebih mirip kutukan. Ia menyedot tenaga rakyat bukan untuk kesejahteraan, melainkan untuk obsesi kekuasaan abadi sang kaisar.”
Dinasti Qin pun hanya bertahan 15 tahun. Kejayaan yang dibangun dengan pajak berdarah runtuh oleh pemberontakan rakyat yang muak dengan beban terlalu berat.
Kaisar Yang dari Sui
Enam abad kemudian, Dinasti Sui menghadapi masalah serupa. Kaisar Yang (604–618) memungut pajak berlapis untuk membiayai proyek Grand Canal, peperangan sia-sia melawan Korea, dan istana megahnya.
Setiap keluarga dipaksa menyetor hasil bumi dalam jumlah besar, sementara pria dewasa wajib ikut kerja paksa. Rakyat miskin terpaksa menjual anak atau meninggalkan tanah mereka karena tak sanggup menanggung beban.
Arthur F. Wright, sejarawan Tiongkok klasik, menulis: “Dinasti Sui runtuh bukan karena musuh dari luar, tetapi karena istana menghisap darah rakyat sendiri lewat pajak dan kerja paksa.”
Tak butuh waktu lama, rakyat bangkit dalam pemberontakan besar yang menumbangkan Dinasti Sui dan membuka jalan bagi berdirinya Dinasti Tang.
Wu Zetian: Pajak untuk Politik
Wu Zetian (690–705), satu-satunya kaisar perempuan dalam sejarah Tiongkok, dikenal cerdas dan ambisius.
Namun, untuk memperkuat kekuasaannya, ia memberlakukan pajak tambahan guna membiayai jaringan intelijen, pasukan, dan birokrasi baru.
Pajak tanah diperketat, dan mereka yang gagal membayar berisiko dituduh berkhianat. Sistem pengawasan membuat rakyat hidup dalam ketakutan.
Profesor Patricia Ebrey mencatat: “Wu Zetian menggunakan pajak sebagai instrumen politik. Ia membiayai jaringan mata-mata dengan uang rakyat, sehingga oposisi sulit bergerak.”
Meski kekuasaannya stabil, reputasinya tetap diliputi tuduhan kejam karena menempatkan beban berat di pundak rakyat.
Hongwu dari Dinasti Ming: Pajak Berbasis Ketakutan
Zhu Yuanzhang, pendiri Dinasti Ming (1368–1398), awalnya dipuja sebagai pahlawan rakyat. Namun, setelah berkuasa sebagai Kaisar Hongwu, ia menciptakan sistem pajak kaku yang sangat menekan.
Ia membentuk sistem lijia, di mana setiap sepuluh keluarga harus saling mengawasi pembayaran pajak. Jika satu keluarga gagal, semuanya dihukum. Hasil panen dicatat secara ketat, dan petani yang dicurigai menyembunyikan hasil bisa dicambuk, dipenjara, bahkan dieksekusi.
Sejarawan Ray Huang menggambarkan: “Sistem pajak Hongwu dibangun di atas rasa curiga. Ia lebih mengandalkan hukuman daripada kepercayaan, sehingga menciptakan suasana takut yang meluas.”
Kebijakan keras ini memang memperkuat kas negara, tapi meninggalkan luka mendalam di kalangan rakyat jelata.
Ibu Suri Cixi: Pajak untuk Kekuasaan Pribadi
Memasuki masa akhir Dinasti Qing, wajah pajak makin suram. Kaisar Guangxu berusaha melakukan reformasi, tapi kekuasaannya dikebiri oleh Ibu Suri Cixi.
Cixi dikenal boros dan sering mengalihkan dana pajak untuk membangun istana mewah atau menopang gaya hidupnya. Pajak tinggi juga dipakai untuk membiayai perang melawan Barat, namun sebagian besar bocor ke kantong pejabat.
Jonathan Spence, sejarawan Tiongkok modern, menulis: “Cixi melanggengkan kekuasaan dengan pajak yang menyiksa rakyat, sementara istana hidup dalam kemewahan. Itu mempercepat runtuhnya Dinasti Qing.”
Jika dilihat dari pola sejarah, beban pajak yang kejam selalu berakhir pada gejolak sosial:
Sejarawan Tiongkok modern menekankan bahwa keadilan pajak adalah fondasi legitimasi kekaisaran. Begitu pajak berubah menjadi penindasan, istana kehilangan dukungan rakyatnya.
Sejarah mencatat dari Qin hingga Qing, kebijakan pajak bisa menentukan umur sebuah dinasti. Di satu sisi, pajak menopang pembangunan besar yang masih kita lihat hingga kini, seperti Tembok Besar atau Grand Canal. Namun di sisi lain, pungutan berlebihan juga mengguncang stabilitas kekaisaran.
Patricia Ebrey mengatakan, “Setiap dinasti yang gagal mengatur pajak dengan adil, selalu berakhir dengan kehancuran.”
Pelajaran dari Tiongkok kuno ini relevan hingga sekarang: pajak bukan hanya urusan angka, tetapi juga kepercayaan rakyat pada penguasa.