SUGAWA.ID — Dalam sejarah panjang peradaban manusia, hanya sedikit peninggalan yang mampu menjembatani dunia fisik dan spiritual. Namun, bagi orang Tiongkok kuno, menulis bukan sekadar alat komunikasi, melainkan alat untuk berkomunikasi dengan surga. Di sanalah kisah Jiaguwen (甲骨文)—tulisan di atas tulang dan cangkang kura-kura—lahir, bentuk tulisan Tiongkok pertama. Dari simbol-simbol sederhana pada tulang inilah peradaban besar Tiongkok mulai menuliskan kisahnya sendiri.
Jejak Dinasti Shang
Penemuan Jiaguwen berasal dari Dinasti Shang (sekitar 1600–1046 SM), salah satu kerajaan tertua dalam sejarah Tiongkok. Pada masa itu, para raja dan pendeta memiliki tradisi unik: mereka melakukan ritual ramalan untuk meminta petunjuk dari leluhur dan dewa. Pertanyaan seperti “Akankah panen tahun ini berhasil?” atau “Akankah perang membawa kemenangan?” diukir pada potongan tulang sapi atau cangkang kura-kura.
Bahan-bahan ini kemudian dibakar dengan logam panas hingga retak. Retakan ini diyakini mewakili jawaban dari surga, dan hasilnya dicatat kembali di permukaan tulang. Tulisan-tulisan ini sekarang dikenal sebagai Jiaguwen, atau “aksara tulang dan cangkang”.
Penemuan yang Mengubah Sejarah
Menariknya, keberadaan Jiaguwen baru muncul di dunia modern secara tidak sengaja pada akhir abad ke-19. Sekitar tahun 1899, seorang sarjana bernama Wang Yirong membeli bubuk tulang dari sebuah apotek di Beijing yang dijual sebagai obat tradisional yang disebut “tulang naga”. Setelah diamati lebih dekat, ia menemukan ukiran-ukiran aneh di permukaannya—bukan pola alami, melainkan tulisan kuno.
Penemuan ini membuka babak baru dalam arkeologi Tiongkok. Setelah melakukan penggalian di wilayah Xiaotun, Anyang, para peneliti menemukan ribuan fragmen tulang bertuliskan prasasti Jiaguwen. Hal ini menghasilkan penemuan yang mengejutkan: Tiongkok telah mengembangkan sistem penulisan lebih dari 3.000 tahun yang lalu, menjadikannya salah satu peradaban tertulis tertua di dunia.
Bentuk dan Struktur Penulisan
Jiaguwen bersifat piktografik — artinya setiap simbol mewakili objek atau gagasan yang nyata. Contoh:
Simbol matahari digambarkan sebagai lingkaran dengan titik di tengahnya (日).
Bulan berbentuk bulan sabit (月).
Kuda ditulis menyerupai bentuk tubuh hewan tersebut (馬).
Rumah digambarkan sebagai atap dengan dinding di bawahnya (宀).
Meskipun sederhana, sistem ini mencerminkan logika dan konsistensi linguistik yang luar biasa. Beberapa aksara Jiaguwen masih digunakan hingga saat ini dalam bentuk yang hampir sama — menunjukkan kesinambungan bahasa Tionghoa yang luar biasa selama ribuan tahun.
Makna Spiritual di Balik Tulisan
Yang membuat Jiaguwen begitu menarik bukan hanya bentuknya, tetapi juga fungsinya. Tulisan ini diciptakan bukan untuk komunikasi sehari-hari, melainkan untuk terhubung dengan dunia supranatural. Setiap karakter yang terukir pada tulang menyampaikan doa, ketakutan, dan harapan masyarakat Tiongkok kuno terhadap alam dan para dewa.
Melalui Jiaguwen, kita dapat membaca pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh raja-raja Dinasti Shang:
“Apakah akan turun hujan minggu depan?” “Apakah perburuan akan berhasil?” “Apakah kelahiran seorang putra kerajaan akan membawa keberuntungan?”
Tulisan-tulisan ini merupakan bentuk catatan sejarah dan kepercayaan spiritual paling awal di Tiongkok. Tulisan-tulisan ini juga menunjukkan bagaimana agama, politik, dan bahasa telah terjalin erat sejak awal peradaban.
Dari Tulang ke Kertas: Awal Perjalanan Tiongkok
Jiaguwen menjadi fondasi bagi sistem penulisan Tiongkok selanjutnya. Setelah berakhirnya periode Shang, ia berevolusi menjadi Jinwen (金文) — tulisan di atas perunggu — dan kemudian menjadi Zhuanshu (篆书) pada masa Dinasti Qin (221–206 SM).
Perubahan ini menandai transisi yang signifikan: dari aksara ritual menjadi sarana administrasi dan komunikasi kekaisaran. Namun, esensi dan bentuk dasar aksara tersebut tetap sama. Ini berarti bahwa setiap kali seseorang menulis aksara Tiongkok saat ini, mereka melanjutkan tradisi berusia ribuan tahun yang berakar pada Jiaguwen.
Nilai Arkeologi dan Budaya
Penemuan Jiaguwen tidak hanya mengungkap sejarah penulisan tetapi juga membuka jendela kehidupan di masa lalu. Dari lebih dari 150.000 fragmen tulang yang ditemukan, para ahli telah mengidentifikasi sekitar 4.000 karakter, meskipun hanya setengahnya yang telah diterjemahkan.
Tulisan-tulisan ini berfungsi sebagai sumber utama untuk memahami kehidupan selama Dinasti Shang—termasuk pertanian, peperangan, perubahan iklim, perburuan, dan bahkan sistem kepercayaan mereka. Karena alasan ini, Jiaguwen dianggap sebagai dokumen sejarah tertua Tiongkok dan merupakan harta nasional yang dijaga ketat di museum-museum seperti Anyang dan Beijing.
Warisan Tak Tergantikan
Kini, Jiaguwen tak hanya menjadi subjek penelitian, tetapi juga inspirasi seni dan sumber kebanggaan budaya. Banyak kaligrafer Tiongkok modern menggunakan bentuk-bentuk Jiaguwen sebagai dasar gaya penulisan mereka. Bahkan, pada tahun 2017, Jiaguwen resmi diakui oleh UNESCO sebagai Situs Warisan Dunia—mengakui signifikansi historisnya bagi seluruh umat manusia.
Lebih dari sekadar simbol pada tulang, Jiaguwen adalah jejak pertama peradaban yang menuliskan pemikirannya. Ini adalah bukti bahwa bahkan ribuan tahun yang lalu, manusia telah berjuang untuk memahami dunia, mencari makna, dan meninggalkan warisan bagi generasi mendatang.
Dari tulang dan cangkang, lahirlah karakter-karakter yang kelak akan merekam sejarah, filsafat, dan puisi kekaisaran Tiongkok. Jiaguwen bukan hanya teks tertulis pertama, tetapi juga simbol kesadaran awal umat manusia akan kekuatan kata-kata.
Setiap ukiran kecil di permukaan tulang mengandung pesan yang mendalam: bahwa peradaban dimulai ketika manusia berani merekam pikiran mereka—dan membiarkannya bertahan selamanya.













