SUGAWA.ID – Bagi sebagian besar negara, tentara adalah simbol kedaulatan dan kekuatan. Apa jadinya jika negara tak punya tentara.
Namun tahukah kalian, dalam sejarah Tiongkok justru menyimpan catatan menarik: ada masa ketika tentara dibubarkan atau dikurangi drastis oleh penguasa, baik demi stabilitas politik maupun untuk mengendalikan masyarakat.
Fenomena penghapusan tentara ini memperlihatkan bagaimana hubungan antara kekuasaan dan militer di Tiongkok tak selalu berjalan lurus.
Era Negara-negara Berperang hingga Dinasti Han
Pada masa Zaman Negara-Negara Berperang (475–221 SM), militer adalah segalanya. Negara-negara kecil berlomba memperkuat pasukan hingga akhirnya Qin Shi Huang berhasil menyatukan Tiongkok.
Namun, setelah kemenangan itu, dinasti Qin dan penerusnya, Han, justru mengurangi kekuatan militer besar. Mereka lebih mengandalkan pasukan garnisun terbatas dan sistem wajib militer bergilir. Langkah ini dilakukan untuk mencegah pemberontakan militer yang bisa mengancam istana.
Dinasti Tang dan Song
Di era Dinasti Tang (618–907), kaisar belajar dari pahitnya tragedi Pemberontakan An Lushan (755 M) yang dipimpin jenderal kepercayaan istana.
Setelah itu, penguasa Tang berusaha membatasi kekuasaan panglima perang dengan memisahkan komando militer dan sipil.
Sementara pada Dinasti Song (960–1279), strategi lebih ekstrem diambil: tentara dipreteli kekuasaannya dan ditempatkan di bawah birokrasi sipil. Tentara Song terkenal lemah secara militer, tetapi sistem ini dimaksudkan untuk mencegah kudeta.
Dinasti Ming: Tentara Petani yang Hilang
Pada awal berdirinya, Dinasti Ming (1368–1644) menciptakan sistem militer berbasis keluarga petani, disebut weisuo. Setiap keluarga wajib menyuplai prajurit secara turun-temurun.
Namun seiring waktu, sistem ini melemah karena banyak prajurit kembali bertani atau menghindar dari kewajiban. Tentara reguler pun melemah, sehingga pertahanan akhirnya lebih bergantung pada tentara bayaran.
Revolusi 1911 dan Republik Tiongkok
Memasuki abad ke-20, Revolusi Xinhai (1911) menggulingkan Dinasti Qing dan mendirikan Republik Tiongkok. Tetapi, alih-alih memperkuat negara, negeri ini terpecah oleh panglima perang (warlords).
Pemerintah pusat tidak benar-benar memiliki tentara nasional. Di sinilah ide “penghapusan tentara permanen” kembali dibicarakan, karena militer dianggap biang kerok perpecahan.
Mao Zedong dan Tentara Rakyat
Ketika Partai Komunis berkuasa pada 1949, Mao Zedong menekankan bahwa “politik harus mengendalikan senjata.” Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) bukan sekadar militer, melainkan juga alat ideologi partai.
Menariknya, Mao pernah menggagas negara “tanpa tentara permanen,” yakni pasukan rakyat yang bisa kembali menjadi pekerja dan petani jika perang usai.
Konsep ini dipraktikkan dalam Revolusi Kebudayaan (1966–1976) ketika PLA banyak diserap ke aktivitas sipil. Namun, realitas ancaman Perang Dingin membuat Tiongkok tetap mempertahankan tentara.
Era Modern: Tentara yang Dipangkas
Di bawah kepemimpinan modern, terutama sejak Deng Xiaoping hingga Xi Jinping, Tiongkok lebih memilih modernisasi dan rasionalisasi ketimbang penghapusan militer.
PLA dikurangi jumlahnya tetapi diperkuat teknologinya. Ide penghapusan total tentara, seperti pernah diimpikan oleh para filsuf atau tokoh revolusioner, kini dianggap utopis. Namun, sejarah mencatat bahwa Tiongkok berkali-kali mencoba membatasi bahkan membubarkan peran militer demi kestabilan negara.
Sejarawan Tiongkok dan mancanegara menilai, gagasan penghapusan tentara di Tiongkok tak bisa dilepaskan dari trauma sejarah.
Prof. Yuan Weishi, sejarawan dari Sun Yat-sen University, menyebut bahwa kecurigaan penguasa terhadap tentara sudah mengakar sejak era kekaisaran.
“Setiap kali militer tumbuh terlalu kuat, istana merasa terancam. Inilah sebabnya dinasti-dinasti besar sering memilih melemahkan atau bahkan membubarkan tentara reguler. Mereka lebih takut pada jenderal sendiri daripada musuh di luar perbatasan,” ujarnya.
Sementara itu, Prof. Edward L. Dreyer, pakar sejarah militer Tiongkok dari University of Miami, melihat ide penghapusan tentara sebagai bagian dari tradisi politik khas Tiongkok.
“Di banyak negara Barat, tentara identik dengan nasionalisme. Namun di Tiongkok, militer sering dipandang sebagai sumber kekacauan. Tidak heran, dari Dinasti Song hingga era Republik, kita berulang kali melihat eksperimen untuk membatasi tentara atau menggantinya dengan milisi sipil,” jelasnya.
Sejarah penghapusan tentara di Tiongkok memperlihatkan paradoks: dari satu sisi, militer dibutuhkan untuk menjaga kedaulatan, tapi di sisi lain, jika terlalu kuat, tentara justru menjadi ancaman bagi penguasa.
Karena itulah, sepanjang sejarah Tiongkok, hubungan antara politik dan militer selalu diwarnai tarik-ulur antara kebutuhan akan pertahanan dan ketakutan akan kekuasaan senjata.