SUGAWA.ID– Di tengah gelapnya malam di Laut Cina Selatan pada akhir 1940-an, sebuah kapal kecil bernama The Outlaw mengarungi lautan. Di atas kapal berdiri seorang pria ramping berkulit sawo matang dengan tatapan tajam, John Lie (Lie Tjeng Tjoan), seorang pelaut pemberani yang telah mengabdikan hidupnya untuk Republik Indonesia yang masih muda.
Dengan nyawanya sebagai taruhan, John Lie memimpin pelayaran berisiko tinggi membawa senjata dan perbekalan dari luar negeri ke tanah air yang sedang berjuang untuk kemerdekaan. Ia bukanlah pejabat tinggi maupun sosok yang haus kekuasaan. Ia hanya percaya pada satu hal: Indonesia adalah tanah airnya, dan ia akan mempertahankannya sampai titik darah penghabisan.
Seorang Anak Tionghoa dari Manado yang Menjadi Tentara Republik
John Lie lahir pada 9 Maret 1911, di Manado, Sulawesi Utara, dari keluarga keturunan Tionghoa. Sejak kecil, ia akrab dengan laut, dunia yang kelak menjadi saksi keberaniannya.
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, John Lie, yang saat itu seorang pelaut internasional, langsung bergabung dalam perjuangan republik. Ia tak ragu berpihak pada tanah airnya, meskipun situasi politik saat itu seringkali membuat etnis Tionghoa dianggap “bukan bagian dari bangsa Indonesia.”
Namun, bagi John Lie, darah yang mengalir di nadinya bukanlah ukuran kecintaannya pada tanah air. “Saya orang Indonesia, saya lahir di sini, dan saya rela mati untuk negara ini,” adalah keyakinannya, yang kemudian ia tunjukkan dengan tindakan nyata.
The Outlaw: Kapal Kecil, Misi Besar
Kisah paling heroik John Lie terjadi saat ia memimpin sebuah speedboat bernama The Outlaw. Sebuah speedboat kecil yang menjadi urat nadi vital dalam perjuangan diplomatik dan militer Indonesia selama revolusi.
Dari tahun 1947–1949, Belanda memberlakukan blokade laut untuk mencegah Republik Indonesia menerima bantuan asing. Namun, John Lie menolak untuk tunduk pada blokade tersebut. Bersama The Outlaw, ia berlayar dari Singapura dan Hong Kong ke perairan lepas Sumatra dan Jawa, membawa senjata, amunisi, dan perlengkapan medis bagi para pejuang kemerdekaan.
Perjalanannya bukannya tanpa bahaya. Ia menghadapi patroli kapal perang Belanda, cuaca buruk, dan risiko ditangkap sebagai “penyelundup.” Namun keberanian John Lie mengalahkan rasa takutnya. Ia sering berpura-pura menjadi pedagang asing, mengganti bendera kapal, atau mematikan semua lampu di malam hari untuk menghindari deteksi radar musuh.
Dalam suatu pelayaran, The Outlaw hampir tenggelam setelah ditembak oleh kapal perang Belanda. Namun, dengan keterampilan navigasi dan ketenangan yang luar biasa, John Lie berhasil menyelamatkan seluruh awak kapal dan mengirimkan muatan penting ke pangkalan republik. Nama The Outlaw kemudian menjadi legenda simbol keberanian tanpa pamrih seorang pelaut yang menerjang ombak demi kebebasan rakyatnya.
Diakui oleh Para Jenderal Besar
Kisah perjuangan John Lie tak luput dari perhatian para pemimpin militer Indonesia. Salah satunya adalah Jenderal A.H. Nasution, seorang tokoh penting Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan penulis seri sejarah monumental 11 jilid “Seputar Perang Kemerdekaan Indonesia”.
Pada suatu momen bersejarah, Nasution secara pribadi mengirimkan surat kepada John Lie, memintanya untuk menulis tentang pengalamannya selama revolusi. Surat yang ditandatangani Nasution tersebut kini menjadi koleksi utama di Museum Perpustakaan Tionghoa-Indonesia—sebuah bukti pengakuan resmi negara atas kontribusi penting John Lie.
Surat tersebut bukan sekadar dokumen sejarah, tetapi juga simbol penerimaan dan penghargaan atas perjuangan orang Tionghoa Indonesia dalam membela Indonesia. Nasution memahami bahwa kisah-kisah seperti John Lie harus dicatat, karena tanpanya, sejarah kemerdekaan Indonesia tidak akan lengkap.
Pengakuan yang Terlambat
Meskipun kontribusinya signifikan, nama John Lie memudar dari ingatan publik selama beberapa dekade. Baru pada tahun 1960-an pemerintah Indonesia secara resmi mengakui peran krusialnya dan mengangkatnya menjadi Laksamana Muda Angkatan Laut Indonesia.
Namun, penghargaan tertinggi datang jauh setelahnya. Pada 10 November 2009 lebih dari 30 tahun setelah kematiannya pada 27 Agustus 1988 John Lie secara resmi dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Republik Indonesia oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Gelar ini bukan sekadar penghargaan pribadi, melainkan sebuah pengakuan bahwa keberanian, pengorbanan, dan nasionalisme sejati tidak mengenal batas etnis.
Lebih dari Sekadar Pahlawan Tionghoa
John Lie sering disebut “pahlawan Tionghoa-Indonesia”, tetapi ia jauh lebih dari itu. Ia adalah simbol persaudaraan sejati antarbangsa, bahwa perjuangan kemerdekaan tidak ditentukan oleh asal-usul, melainkan oleh keberanian dan keyakinan.
Kisahnya mematahkan stigma lama bahwa orang Tionghoa tidak terlibat dalam perjuangan kemerdekaan. Ia membuktikan bahwa cinta tanah air dapat tumbuh dari siapa pun yang rela berkorban demi negara.
Jika kisah John Lie dimasukkan ke dalam buku pelajaran sejarah sekolah, generasi muda Indonesia akan belajar bahwa nasionalisme bukan tentang darah atau warna kulit, melainkan tentang tindakan dan ketulusan. John Lie bukan hanya milik satu suku, ia milik seluruh bangsa Indonesia.
Warisan Pemersatu
Kini, surat A.H. Nasution kepada John Lie dijunjung tinggi di Museum Perpustakaan Tionghoa Peranakan. Dokumen ini menjadi pengingat bahwa di balik setiap lembaran sejarah, terdapat tokoh-tokoh yang mungkin terlupakan, namun jasanya telah membentuk jati diri bangsa.
Kisah John Lie dan Sang Penjahat adalah kisah keberanian yang melampaui batas waktu, etnis, dan samudra. Kisah ini mengajarkan bahwa dalam perjuangan kemerdekaan, kita semua setara di bawah bendera merah putih.
Dan selama ombak terus menerjang kepulauan Indonesia, nama Laksamana Muda John Lie akan tetap hidup—sebagai pelaut legendaris yang menempa persatuan dengan keberanian, kesetiaan, dan cinta tak terbatas kepada tanah airnya.
“Kita satu bangsa, satu tanah air, dan setara.”
Semangat yang diwariskan John Lie kepada setiap anak bangsa.




_-_panoramio-e1760928594996.jpg)


-e1760098626616.jpg)





