SUGAWA.ID — Dalam sejarah panjang kaisar pria Tiongkok, hanya satu wanita yang pernah duduk di atas takhta sebagai penguasa penuh: Wu Zetian. Namanya masih membangkitkan rasa kagum sekaligus ngeri hingga kini.
Sebagian orang memujanya sebagai perempuan visioner yang membawa kemajuan luar biasa bagi Tiongkok. Namun banyak pula yang mengenangnya sebagai penguasa kejam, dingin, dan haus kekuasaan. Di balik singgasana emas Dinasti Tang, Wu Zetian menulis kisah hidup yang penuh intrik, darah, dan ambisi — kisah yang menjadikannya sosok paling kontroversial dalam sejarah kekaisaran Tiongkok.
Dari Selir Rendahan Menuju Puncak Kekuasaan Wu Zetian lahir pada tahun 624 M dari seorang pejabat menengah pada masa Dinasti Tang. Kecantikannya yang luar biasa membuatnya diterima di istana Kaisar Taizong sebagai selir rendahan, salah satu dari ratusan wanita yang mengabdi di istana kekaisaran.
Namun, nasibnya berubah setelah kematian Kaisar Taizong. Secara tradisional, selir istana yang tidak memiliki anak diwajibkan masuk biara dan menjadi biarawati. Namun Wu menolak nasib itu. Ia menarik perhatian putra kaisar, Li Zhi, yang kemudian naik takhta sebagai Kaisar Gaozong. Sejak saat itu, ambisi Wu Zetian mulai tumbuh—dan sejarah Tiongkok pun berubah selamanya.
Dengan kecerdasan dan kelihaiannya, Wu berhasil menyingkirkan permaisuri resmi Kaisar Gaozong. Legenda menyebut, ia tega membunuh bayinya sendiri lalu menuduh permaisuri sebagai pelaku, agar kaisar murka dan mencopot permaisuri dari kedudukannya. Tak lama kemudian, Wu Zetian diangkat menjadi Permaisuri Tertinggi Kekaisaran Tang.
Kekuatan di Balik Takhta Sebagai permaisuri, Wu Zetian tidak puas hanya menjadi boneka. Ia mulai ikut campur dalam urusan pemerintahan, mengendalikan keputusan kaisar, dan melibatkan pejabat tinggi istana. Ketika Kaisar Gaozong jatuh sakit karena stroke, Wu secara efektif mengambil alih pemerintahan.
Ia dikenal karena kecerdasan dan ketertibannya, bahkan memperkenalkan sistem administrasi baru yang lebih efisien. Namun, ia juga dikenal karena kekejamannya terhadap lawan-lawan politiknya.
Kekuatan di Balik Takhta Sebagai permaisuri, Wu Zetian tidak puas hanya menjadi boneka. Ia mulai ikut campur dalam urusan pemerintahan, mengendalikan keputusan kaisar, dan melibatkan pejabat tinggi istana.
Ketika Kaisar Gaozong jatuh sakit karena stroke, Wu secara efektif mengambil alih pemerintahan. Ia dikenal karena kecerdasan dan keteraturannya, bahkan memperkenalkan sistem administrasi baru yang lebih efisien. Namun, ia juga dikenal karena kekejamannya terhadap lawan-lawan politiknya.
Banyak catatan sejarah menunjukkan bahwa Wu tidak ragu-ragu untuk menyingkirkan siapa pun yang dianggap sebagai penghalang bagi pemerintahannya—termasuk anggota keluarganya sendiri. Beberapa pejabat tinggi dieksekusi karena pengkhianatan, sementara keluarga-keluarga bangsawan lama yang menentangnya secara bertahap disingkirkan.
Di istana, ketakutan tumbuh seiring dengan kekuasaannya.
Kaisar Wanita Pertama dan Satu-satunya
Setelah kematian Kaisar Gaozong, Wu Zetian tidak lagi bersembunyi di bawah bayang-bayang suaminya. Ia menyingkirkan kedua putranya yang telah naik takhta, dan pada tahun 690 M, Wu secara resmi memproklamasikan dirinya sebagai Kaisar Tiongkok, mendirikan Dinasti Zhou, menggantikan Dinasti Tang.
Langkah ini mengguncang negara. Belum pernah sebelumnya seorang perempuan memegang kekuasaan tertinggi di negeri yang begitu mengakar dalam patriarki. Para pejabat Konfusianisme murka, rakyat bingung, tetapi kekuasaan Wu Zetian tetap tak tergoyahkan. Di bawah pemerintahannya, ia memperluas kekaisaran, memperkuat militer, dan memperkenalkan kebijakan yang lebih terbuka terhadap kaum miskin dan perempuan.
Ia juga memperbaiki sistem ujian kekaisaran sehingga pejabat dapat dipilih berdasarkan prestasi, bukan hanya keturunan. Meskipun reformasi ini, Wu tetap memerintah dengan tangan besi. Ia membentuk “Polisi Rahasia Istana” untuk memata-matai lawan-lawan politiknya. Siapa pun yang dicurigai melakukan pengkhianatan dapat menghilang dalam semalam—tanpa pengadilan, tanpa jejak.
Bayangan Kekejaman dan Keabadian
Sebuah Nama Catatan sejarah klasik seperti Kitab Tang Lama dan Kitab Tang Baru menggambarkan Wu Zetian sebagai sosok yang kejam dan licik. Ia konon menyiksa musuh-musuhnya secara brutal, memerintahkan eksekusi publik, dan bahkan menjadikan beberapa orang sebagai panutan bagi pejabat lainnya.
Namun, seiring berjalannya waktu, para sejarawan modern mulai mengkaji kisah ini secara berbeda. Banyak yang berpendapat bahwa citra Wu Zetian sebagai “perempuan jahat” dioleh sejarah patriarki yang merampas kesempatan perempuan untuk menjadi pemimpin.
“Wu Zetian tidak lebih kejam daripada kaisar laki-laki lainnya pada masa itu,” kata Profesor Li Xueqing, seorang sejarawan di Universitas Beijing. “Hanya saja karena ia seorang perempuan, tindakannya dianggap lebih menakutkan. Namun, ia juga membawa stabilitas politik dan kemajuan sosial yang signifikan.”
Akhir Hidupnya dan Warisan Abadi
Menjelang akhir hayatnya, Wu Zetian dipaksa turun takhta oleh putranya, Zhongzong, dan Dinasti Tang pun dipulihkan. Ia wafat pada tahun 705 M di usia 81 tahun—usia yang luar biasa panjang untuk seorang penguasa pada masanya. Di makamnya di Qianling, batu nisan yang seharusnya mencatat masa pemerintahannya dibiarkan kosong.
Banyak yang menafsirkan ini sebagai simbol misteri sekaligus keagungan hidupnya—seolah-olah dunia dibiarkan menilai sendiri apakah ia seorang pahlawan atau monster. Saat ini, lebih dari seribu tahun setelah kematiannya, Wu Zetian tetap menjadi sosok yang kontroversial. Bagi sebagian orang, ia adalah simbol kekuatan perempuan dan reformasi yang berani.
Bagi yang lain, ia tetap menjadi “Permaisuri Dinasti Tang yang Kejam”—seorang perempuan yang menaklukkan dunia dengan darah dan kelicikan. Namun satu hal yang pasti: Wu Zetian bukan hanya bagian dari sejarah Tiongkok, tetapi juga bukti bahwa kekuasaan dan ambisi tak mengenal gender.

_-_panoramio-e1760928594996.jpg)





-e1760098626616.jpg)





