Dalam catatan sejarah Tiongkok, banyak jenderal dikenal karena pedangnya. Namun hanya sedikit dari mereka yang dikenang karena pikirannya. Salah satunya adalah Zhuge Liang, seorang penasihat militer, ahli strategi, ilmuwan, sekaligus negarawan yang hingga saat ini tak hilang dari ingatan.
Zhuge Liang bukan hanya tokoh dari kisah Romance of the Three Kingdoms. Ia adalah simbol dari kebijaksanaan dan akal sehat di tengah gemuruh peperangan.
Sang Naga Tidur
Dilahirkan pada tahun 181 M, Zhuge Liang dikenal sebagai sosok yang pendiam namun tajam pikirannya sejak masih muda. Ia dijuluki “Wolong”, atau “naga tidur” yaitu sebuah panggilan yang menggambarkan potensi besar yang menunggu untuk waktu yang tepat untuk bangkit. Saat Liu Bei, salah satu pemimpin utama pada masa Tiga Kerajaan, datang tiga kali ke kediaman Zhuge Liang untuk memintanya menjadi penasihat, Zhuge Liang akhirnya menerima. Sejak itulah sejarah berubah.
Di medan perang, Zhuge Liang bukan sekadar orang yang ahli dalam strategi. Ia juga adalah seorang pemikir. Ketika lawannya menggunakan kekuatan, ia menggunakan kecerdasannya. Salah satu kisah yang melegenda adalah saat ia menggunakan taktik “Empty City Stratagem” yaitu membuka gerbang kota dan memainkan alat musik dengan tenang saat pasukan musuh mendekat. Musuh, yang tahu betapa cerdasnya Zhuge Liang, justru mundur karena mencium perangkap yang sebenarnya tidak ada. Ia pun memperoleh kemenangan, hanya dengan menggunakan ketenangan dan reputasinya.
Ketika Roti Menggantikan Kepala
Bukan hanya di medan perang Zhuge Liang menunjukkan kebijaksanaannya. Dalam sebuah ekspedisi ke wilayah selatan, pasukannya harus menyeberangi sungai yang dipercaya oleh penduduk setempat dijaga roh-roh air. Menurut ritual lama, syarat agar bisa menyeberangi sungai itu adalah mengorbankan kepala manusia.
Zhuge Liang menolak untuk mengorbankan prajuritnya. Sebagai gantinya, ia menciptakan makanan berbentuk kepala manusia yang terbuat dari adonan tepung berisi daging, lalu dikukus. Kemudian ia melemparkan makanan itu ke sungai, dan berhasil. Akhirnya pasukannya bisa menyeberangi sungai tersebut tanpa darah yang tumpah. Legenda menyebut makanan itu sebagai asal-usul dari mantou, yang kemudian menjadi bakpao.
Di titik itulah Zhuge Liang bukan hanya menjadi ahli strategi, tapi juga menjadi simbol dari bagaimana manusia bisa mengatasi tradisi berdarah dengan akal dan rasa kemanusiaan.
Warisan Sang Jenderal
Zhuge Liang meninggal di usia 54 tahun, tetapi warisannya masih akan terus hidup. Bukan hanya lewat buku-buku strategi militer, tetapi juga lewat nilai-nilai yang ia pegang: berpikir sebelum bertindak, memilih kecerdasan daripada kekerasan, dan menggunakan ilmu untuk melindungi dan bukan untuk menindas.
Ia bukan jenderal biasa. Ia adalah filsuf di medan perang, ilmuwan di tengah kekacauan, dan manusia yang percaya bahwa perang terbaik adalah yang tak perlu dimenangkan dengan pedang.

-e1760098626616.jpg)



_-_panoramio-e1760928594996.jpg)







